Tahun ini, Maret menyapaku seperti perempuan cantik
kesepian, yang butuh teman. Teman untuk sekedar ngobrol ke utara ke selatan,
ngobrol apa saja. Bunga-bunga di taman depan jalan memang belum mekar, hujan
dan gerimis baru sesekali datang samar-samar. Tapi satu yang kuamati betul:
dari awal Maret ini, ada bau yang terus datang namun sulit dijelaskan.
Beberapa kali kucoba tangkap, kuhirup dalam dan kunikmati,
aku selalu membayangkan masa kecil. Kecil yang sekolah menengah, sampai kecil
yang umur lima, sampai kecil yang umur dua-tiga. Bau itu cukup membantuku ingat
kenangan-kenangan kecil, mirip buka album foto.
“Ibu masak apa? Pasti sop, ya?”
Di umur-umur dua-tiga aku menemani ibu masak di dapur,
sambil memutar-mutarkan mobil-mobilan. Sesekali kutanya ibu, dan kujawab sendiri
pertanyaanku. Anak kecil.
Hirupan sesekali itu tak berhenti. Bau itu mirip kertas yang
memaksaku terus menulis puisi, tentu tanpa paksaan yang harfiah. Hari lainnya
datang, bau itu kadang datang lagi dan tak kuhiraukan benar.Ia kadang mirip
perempuan kesepian, perempuan cantik nan memikat, atau anak kecil yang mengajak
main di waktu sibuk. Dalam kesempatan lain, bau ini menuntunku juga ke travel-travel
Cilacap-Jogja, Solo-Jogja, atau bincangan-bincangan dalam bis. Segarnya..
Hari-hari ini aku banyak menghayati perjalanan dan tempatku
berpijak, lengkap dengan obrolan sederhana sampai rumit yang apabila tak
dipikir sederhana juga. Aku jadi ingat kawan-kawan di rumah jauh. Kami selalu
ada di antara menyederhanakan masalah dan memasalahkan yang sederhana. Mirip
sekali dengan cara Bu Sri, guruku SD, pertama kali mengenalkan padaku
matematika: satu tambah satu, satu tambah dua, satu tambah tiga, dan
seterusnya.
“Kalau ada kali, kalinya dikerjakan dulu..”
Pak Barjo, mentor matematika kelas empat SD mulai
mengajarkanku hal-hal perkalian dan pembagian. Satu langkah lebih rumit dari
tambah-tambahan. Di titik ini aku mulai paham dan sesekali tersenyum. Aku
ternyata merindukan cara kami, aku dan kawan-kawan, mencari kebahagiaan.
Hidup, betapapun tak lepas dari perjalanan, perjalanan yang
kadang tak hendak kita resapi, tapi hendak kita nikmati. Menikmati tentu yang
nikmat-nikmat. Sedangkan yang getir kita kecap sekali dan sudah itu pergi.
Idealnya begitu, tapi hidup kadang tak ideal. Tak ideal dari banyak sisi, dari
banyak kotak yang seringkali tak pas ukurannya. Masalah yang kita singkiri,
sebagaimana kita berjalan, seringkali kita bawa sebagai beban. Kita menuntut
keadilan yang tak kunjung datang, sedang kita lelah pada ratan yang begitu
panjang.
Dalam perjalanan hidup, kita sebenarnya tanpa kawan. Kawan
boleh kita ibaratkan tongkat penyangga berat ataupun air dalam kemasan, kemasan
apa saja. Dalam perjalanan kita nemu banyak sumber mata air, sebanyak kita
mengurai air mata- namun tak banyak kita nemu kawan. Selebihnya hidup ialah
antara diri kita dan jalan itu sendiri. Kadang kita mampir di kota-kota sepi
yang penuh dengan kerlip lampu-lampu yang tak pernah mati. Sebagaimana di
keramaian kita gemar merayakan kekosongan.
Bau yang belum sempat kujelaskan ini satu kali mampir dan
membawaku ke konser-konser pentas seni sekolahan. Aku membadut dan bicara apa
saja di bawah lampu warna-warni. Bicara yang tak ada alasannya tentu tak
sederhana, namun melihat orang-orang tertawa jadi keadilan tersendiri untuk
itu. Adil, bagaimanapun tak bisa diukur.
Meski bau harum ini perlahan mulai akrab dan akhirnya kunamai:
Jelita, aku tetap waspada. Awas pada kenangan yang berlebih. Sebab kenangan
sama kejamnya dan tulusnya seperti rampok. Ia kerap membawa apa saja dari hati
ini. Kenangan kadang nikmat dan begitu sederhana, tapi beberapa memunculkan
kesombongan, persis bila kita pandai. Jadi pandai mesti tepat, yang berlebih
selalu merendahkan yang lain.
Dalam falsafah Cina, sifat hidup digambarkan mirip ular,
babi, dan elang. Ular ialah kelicikan- geliatnya cepat dan licin, babi sebagai
kemakmuran, dan elang merupakan simbol kebanggaan-
sesuatu yang tak membumi. Yang kita cari dan sulit bisa kita elak. Aku jadi
ingat, di SMAku yang mengajarkan kebebasan dulu, hampir setiap hari ada saja
yang mengiklankan kaos lengkap dengan nama dan macam-macam soal sekolahan.
Machiavelli satu kali menggambarkan kebebasan seperti singa yang lama dalam
kurungan, menahun. Begitu kurungan dibuka, ada dua kemungkinan: pergi bebas dan
jadi buas, atau tetap dalam kandang sebab nyamannya. Ritual membeli kaos dengan
serba-serbi tentang sekolah di sekolah beritme bebas sejelasnya merupakan salah
satu pengejawantahan dari kebanggaan yang berlebih. Seperti singa di kandang
tadi, kita suka terjebak pada ke-tak-berubahan.
Kebebasan tak ada yang absolut, mirip dengan kebenaran.
Kebenaran suka membagi dirinya ke orang banyak di banyak sudut pandang. Di
antara kita dan perjalanan ada jalan, pembatas jalan, dan lanskap-lanskap macam
pegunungan, sungai, atau jurang. Batasan mengartikan adanya akhir, sedang
kebebasan acapkali meminta alpanya batas-batas di kiri kanan. Bila tak hati-hati kita menembus batas, kita bisa hilang entah ke mana. Dalam tataran
tertentu menekan ambisi dan kesombongan kepentingannya mutlak.
Hari-hari berlalu dari pikiran rumit ke yang sederhana,
kembali dari yang sederhana ke yang lebih terurai panjang. Jelita, temanku, bau
yang suka datang itu barangkali tak sungguh-sungguh mau bicara soal masa lalu
atau menggodaku dengan kenangan-kenangan manis. Tapi menunjukkan padaku bahwa
aku mesti pandai bersyukur dan sesekali tersenyum simpul akan hal-hal yang tak
bisa diulang persis sama.
Di Tanzania, orang-orang suku Masai tak pernah bicara
waktu-waktu besok. Mereka tak punya bentuk kalimat masa depan dalam khasanah
bahasa mereka. Besok, lusa, setahun lagi, ialah hari ini itu sendiri. Bagi
mereka masa depan begitu samar dan tak lebih misteri dari sekarang: hari ini,
jam ini, menit ini. Di abad dua puluh satu, mereka masih setia pada abad-abad
lampau. Ketika jarak mesti mereka tempuh secara sukarela, dan tak mengada-ada.
Sedang aku sendiri, di umur yang menginjak angka dua satu, rasanya mesti banyak
belajar soal penerimaan macam begitu.
Aku menerka-nerka sesekali: lantas kemarin, apa juga hari
ini yang sudah pasti, yang telanjang bulat dan menari-nari? Sedang terhadap
yang telanjang itu, kita tak serta merta terangsang. Manusia selalu tertarik
pada hal yang transenden sekaligus yang imanen. Yang jauh sekaligus yang dekat.
Mirip Tuhan, sebelum kita tanyai dan setelahnya tetap bisu. Kejelasan,
seringkali kita rengek-rengek. Tapi ia tak habis direngek-rengek.
Bintang-bintang yang jauh dan rambut yang dekat jadi sama menjengkelkannya.
Mereka sama-sama bungkam, mengelak ditanya jumlah. Kita yang kerap menjebak
diri di angka-angka tak lekas sadar kalau dalam banyak peristiwa mawas diri
begitu penting.
Betapa cepat waktu berlalu, Jelita tetap setia, masih setia.
Kemarin sore ibu masih mengandung aku, belum buru-buru pergi ke Rumah Sakit Kasih
Ibu di Karanganyar. Kemarinnya, aku baru tamat SD dan menyapa penjaja kue lopis
di depan sekolah, kini penjaja itu tiada, menyerah pada umurnya. Kemarinnya
lagi, aku masih menemani kekasih lamaku membeli majalah tentang tata estetik rumah yang
baik, ia memang menyukai segala hal soal dekorasi rumah. Kemarinnya lagi-lagi, aku menahan haru melihat bapak berdiri mengantarku
di depan pintu keberangkatan di Cengkareng. Kemarinnya lagi-lagi-lagi aku bercermin dan mengetawai uban yang kian membuatku tampak dewasa, meski baru lahir kemarin
sore.
Di bulan Maret yang penuh berkat, bagiku, sedikit banyak
kusyukuri apa-apa yang selama ini sudah kudapat dengan mudah maupun susah
payah. Dua tahun lalu di tanggal yang sama kukatakan: hari ini tanggal tiga puluh
bulan Maret, mestinya bukan lagi mimpi-mimpi, tapi mimpi-mimpi yang sengaja
dijadikan hidup. Yang hari ini dua tahun lalu sudah jadi kemarin sore hari ini.
Kuucapkan syukur untuk hari ini yang akan jadi kemarin bagi besok itu, dan
tentu kepada jelita juga.
Kepadaku, kuucapkan selamat ulang tahun keduapuluh satu.
Dua dekade kemarin mesti disyukuri satu-satu.
Tahun demi tahun, hari demi hari, jam demi jam. Demi waktu
dan rindu-rindu panjang.
Pergilah minum beer sepuasmu, malam ini: sebab umurmu sudah
ganjil dua satu !
Massachusetts, 30
Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar