Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Senin, 22 September 2014

Surat Kepada Masa Lalu Yang Mana Saja

Surat Kepada Masa Lalu Yang Mana Saja 

09/22/2014


Bila kau merasa tak pernah membaca surat dariku, biarkan ini menjadi surat kesekian yang mentah begitu saja. Biar saja ini jadi surat yang kubuat dalam gamang dan gugur bersama musim, bersama daun-daun yang sedang gugur kering. Hahahaa


Kamu tentu tahu kenapa aku menyukai Ipang. Benar, karena seperti sering kubilang, Ipang selalu menyanyikan lagu yang bikin rindu. Aku tak pernah memilih rindu, tak pernah memilih kenangan mana yang harus menyeruak dan tiba-tiba masuk dalam satu lesatan panjang pikiranku. Ay, mencintaimu dengan sunyi adalah pilihan yang ringan dan mudah saja. Kamu perlu tahu ini..


Aku selalu mencintai dengan sungguh-sungguh, berkali-kali jatuh, dan berkali-kali pula belajar. Padamu kalimat barusan berlaku juga. Maka kesedihan itu, ay, adalah niscaya. Di mana ada kenangan yang manis, tentu tumbuh rindu juga di sekitarnya. Hampir seperti lumut tak tahu malu yang tumbuh di tembok belakang rumahku. Maka biarkan aku bercerita kenapa kangen yang sialan itu mampir juga hari ini. Kamu tahu, aku kerja sepanjang siang sebelum menghabiskan malam di perpustakaan dengan lagu-lagu playlist buatanku dan buku-buku apa saja yang asyik. Hari kemarin harinya Beirut dan Old Crow Medicine Show, hari besok mungkin Ebiet G Ade. Tapi kamu tahu, hari ini Ipang kurasa cocok, dan betulan cocok.

**


Bila di antara kita tak ada pesan yang mampir, biarkan kita menikmati itu sungguh-sungguh seperti menikmati secangkir hangat kopi susu di hari pagi. Bila mendung itu datang terus di kamarmu, marilah keluar kamar untuk sekadar melihat betapa pasrah daun yang masih ada di dahan jelang musim dingin. Cinta itu mahal, tapi beberapa diobral sangat murah, seperti yang kita punya kemarin. Rindu pun, ay, rindu pun. Rindu itu begitu lepas dan bisa sangat menjengkelkan.


Tapi biarkanlah… biarkanlah kuselesaikan lagu ini dengan tidak memikirkanmu. Hahaha tapi hei ! aku selalu punya surat buatmu, surat yang tidak punya tekad untuk sampai padamu sejak kalimat pertama.


Salam,
Aku




Jumat, 05 September 2014

Kamar

Kamar


Dia menangis. Dia pergi. Dia menangis lagi. Pergi lagi dari kamarnya yang singup. Dia luntang lantung dan mati gaya. Tapi memang tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk keluar dari cerita cinta yang kelam. Cerita cintanya kelewat susah. Kekasihnya mengatakan padanya bahwa cinta adalah sesuatu yang tak bisa ditebak, itu artinya, kekasihnya bisa berkhianat padanya secara manasuka.


Gerimis mulai kering, tapi petir dan geletar halilintar belum juga reda. Setelah lelah dan penat dan luntang lantung, dia memilih menyendiri di kamarnya yang mungil.
“ Kenapa kau memilih mencintaiku? “
kata-kata kekasihnya tak pernah benar-benar menjadi sebuah pertanyaan. Terhadap takdir, dia tahu betul bahwa pilihan tak begitu banyak di hadapannya.


Suatu siang yang semenjana dan tak banyak omong, dia sudah berkali-kali pergi jauh. Tapi kepergian perlu kehendak kuat, juga kehendak Tuhan, dia tahu betul soal ini. Kepergian terjauhnya adalah ke RW sebelah, dia memancing ikan di selokan kecil di situ. alih-alih menangkap seekor, dia justru kehilangan pancingan.
Semua orang tahu nasib sial adalah seberat-berat cobaan, dan hidup seseorang tak pernah lepas dari ini, seberapa pun beruntungnya seseorang.


“ Kenapa kau memilih mencintaiku?”
Dia muak dengan pertanyaan yang diulang, sedang jawaban dari pertanyaan kemarin belum juga mampir ke benaknya.
Maka dia menikmati sepi kamarnya dengan getir, dengan kesedihan dan muka linglung, dengan kopi sachet yang kebanyakan air, dan dengan air matanya sendiri.


Dia tahu kekasihnya ini bejat betul. Sudah bercinta dengan banyak laki-laki sebelumnya, dan masih mencintai laki-laki di masa lampaunya, dan masih ditampakkannya hingga sekarang. hal-hal semacam ini lumrah sekaligus tak bisa dihindari. Dia bertahan. Dia bertahan. Air menggenang di setiap hilir kali, di setiap diri dan nadi. Di pikirannya apalagi, dia sungguh tak bisa berbuat apapun yang spektakuler untuk mengubah suasana. Derit kursi dan cinta-cinta murah, demi itu semua segalanya memang manis.



“ Kalau saja aku bisa memilih… aku lebih memilih…
“ Apa? “
“ Aku tentu akan memilih orang lain “
“ Tapi kautahu bahwa seratus persen cinta di hati ini tak sepenuhnya milik seseorang, kubagi padamu sepuluh persen, bahkan sepersen pun kaubilang cukup untuk membikin kau yakin. “


Dia dan kekasihnya tak pernah betul-betul bertengkar. Dia tahu kesedihan mesti disimpan sendiri dan sebaik-baiknya. Di hadapan banyak orang, mukamu harus segar dan tak boleh muram, tak boleh tertekuk apalagi mendung. Inilah yang paling vital sebagai manusia, dia tahu bahwa kau harus hidup dengan citra sebaik-baiknya. Kekasihnya tetap diajak kencan, cintanya masih dijaga sama besar, tapi…


Apa yang paling kuat dari kata tapi? sekata ini bisa membalikkan keadaan baik jadi kritis, dan keadaan buruk jadi menyegarkan.
Tapi, cinta yang dia pegang itu menyusut seminggu belakangan. Dia tak bisa lagi mencorat coret dinding kamarnya dengan puisi mbeling seperti: aku aku aku aku cinta cinta cinta cinta kamu kamu kamu, apapun apapun, sedalam sedalam sedalam, apapun apapun, pada siapapun, kau melabuhkan rindu. kumpulan kata-kata ini ditulis miring di temboknya yang berwarna krem. Ibunya pernah protes dan menghapus beberapa kata-kata di situ dengan minyak, malah menimbulkan bercak yang aneh.
Kamarnya memang aneh. Penghuninya aneh. Dia tahu kalau dia aneh. Seleranya pada perempuan juga selalu diolok-olok oleh kawan-kawannya yang jauh. Dia memang tak punya kawan dekat. Di sekitarnya cuma tumbuh benalu dan mimpi buruk. Dia sangat membenci malam. Membenci sekaligus menyukainya malu-malu.


“ Malam cuma membawakan padamu dua hal: perih dan suara jangkrik. “
“ Aku menyukai suara jangkrik. “
“ Aku tak menyukai suara jangkrik, apalagi perih. Keduanya begitu lalim dan tak punya pengertian. “


Dia linting tembakau temanggung itu di kertas rokok yang manis, disesapnya pelan-pelan. Kamarnya mulai berasap. Dia merasa bahagia, dibayangkannya asap itu sebagai tiang-tiang awan yang menyangga khayangan. Dirindukannya. Duka. Dirindukannya duka. Tak ada kesedihan yang berarti di dunia yang gelap ini. Dia percaya, setiap sudut mana pun di dunia ini akan mengokangkan padanya rindu pelan-pelan, menembusi pikirannya yang kecil, mimpinya yang buruk, dan angan-angannya yang terjal.


“ Percayakah kau, bahwa ada manusia hidup seperti malaikat yang bijak bestari? “
“ Di lorong-lorong gang, orang mabuk pun bisa merasa suci. Di motel-motel reyot, para pelacur punya niat baik. Lantas apa yang kauharapkan, kekasihku yang rupawan? “
“ Percayakah kau, bahwa ada cinta tanpa mengharap imbal balik? ”
“ Kekasihku yang lumpang dan bodoh, tidurlah. Tidurlah. Di sampingmu ada perempuan yang sama bodoh denganmu, dan kita akan berusaha pintar. Sampai maut memisahkan. “


Dia merasakan betul asap itu masuk melalui kerongkongannya, keluar lagi lewat saluran pernapasannya yang lain. Hidup di luar kamarnya begitu gemerlap. Tapi. Tapi siapa peduli. Bulan runtuh, hari-hari jatuh, kata-kata luluh. Kamarnya makin pengap, dia ambil bir dingin dari kulkas kecil di depannya. Dia tenggak bir itu. Pelan-pelan. Ia membayangkan bapak ibunya yang jauh. Adik-adiknya yang jauh. Dia rebah. Dia regah.


Oooh dewa penenang ombak, kemarilah mabuk denganku yang susah tidur. Oooh dewa cupid, berikanlah padaku cinta satu lagi. Biar kutabung, biar kusemai, biar kujadikan sungai tempat aku menenangkan diri lepas lelah kerja.


Dia meracau dengan suara berat. Parau. Pita suaranya seperti habis dijemur seharian. Kekasihnya tak juga datang. Dia menunggu. Dia menunggu ponselnya berdering ( pulsanya habis dan baterai tinggal 34 persen ). Halooo. Halooooo ! Haloo...
Dia mabuk dan tertidur, kesedihan masih tinggal di bajunya yang longgar. Di dalam mimpi dia justru bertemu bidadari cantik. Sebangun tidur celana dia basah. Dan kamarnya seperti kapal karam yang masih beruntung.
Ternyata dunia ini tak buruk-buruk amat !


Boston, 2014


Kamis, 04 September 2014

Sebuah Teknik Menyimpan Kangen. Padamu

Sebuah Teknik Menyimpan Kangen. Padamu


kembali kita di sini
di kota yang rumit dan teduh
matamu itu, tentu, telah lama bergegas
telah lama jauh
dan kita tak pernah mengharapkan
apapun.


menyanyilah, hai orang asing, menyanyilah
kita akan mabuk di dahan-dahan
cemara rindang
mencecap sekecipak air kali
untuk menawar rindu
yang terus berdengung
di kuping kiri dan ulu hati.
sebagai peziarah, kita memang
bertemu secara kebetulan


bolehkah aku meminjam bibirmu?
( jawablah )
akan kulipat-lipat dan kumasukkan
saku baju
akan kubuka tiap kali
wajahmu tiba
mungkin malam nanti
waktu kita saling mendaras
nama-nama bintang
dari kejauhan



Brookline, Sept 2014

Rabu, 03 September 2014

Welcome Back

Welcome Back


inilah kenapa aku menulis. kau tahu, supaya banyak hal tak segera menguap. begitu hal-hal kecil pergi, kita akan kehilangan hal-hal besar. dan hal-hal besar, biasanya sering berkhianat atau kaukhianati dahulu, secara diam-diam.


sudah tiga tahun. aku belum sungguh-sungguh mencintai boston, belum, sampai aku kembali lagi dengan perasaan yang lain. yaitu perasaan yang kubawa pada kota ini sekarang. perasaan yang kautanam pelan, sepelan beca yang dikayuh pak tua di depan gang kricak sana.


kau tahu. musim panas adalah cara tuhan menyentuh jarimu, menyentuhkan aku dan kau dalam sebaskom penuh anggur putih. dan..
sebentar musim segera dingin, kangen itulah, yang merasuk sampai ke tulang-tulang. dan pelukan. pelukan itu. belum kita miliki penuh-penuh.


sayang, di kota ini aku menantimu. datanglah dengan pikiran dan hati yang lengkap, saat itu tiba, aku akan benar-benar meyakinimu. meyakinimu. sungguh-sungguh.



Boston, Sept 2nd 2014