Kricak dan Padang Bulan
Mari sekali lagi bicara masa kecil..
Di pelataran aku sering kumpulkan bebatuan
Putih-putih banyak- maklum, mahalnya minta ampun
Bukan kami kaya atau apa
Tapi dulu beli rumah sudah lengkap dengan
Hiasan taman
Di padang bulan,
Bapak matikan lampu-lampu serumah
Dalam pikiranku yang kecil, ada rasa tak aman
Seberani apa aku selalu risau dengan gelap
Mungkin itu cara keluarga kami, atau aku sendiri
Menikmati kecemasan
Di Sekolah Dasar aku pukul teman sekali,
Besoknya guru panggil dan bilang jangan lagi.
Di waktu yang lain aku tertakuti, pada macam-macam
Tapi keberanian dan ketakutan
Ternyata kadangkala saja datang
Selebihnya aku pengecut.
Aku sering tak nyaman jalan sendiri
Di padang bulan,
anak-anak kampung nyanyi di teras rumah
mendaras doa untuk tongkeret dan gareng pung
kebiasaan ini kian urung, kian kurang, akhirnya hilang.
Sejak era telepon genggam,
Adik-adik dan teman-teman kampungnya
Asik dengan cara mereka berbagi kesepian
Kricak tak banyak bicara
Lebih sering bisu dalam banyak hal
Tapi dikenal- sering- sebab
Pemukiman di tubir-tubir kali nanga.
Di situlah sisi hidup yang lain.
Sisi lain yang mengajak kami tumbuh.
Keluarga-keluarga transgender
Dan cara mereka bertahan
Dari segala banjir
" Tuhan, senantiasalah bersama mereka.."
Bambu-bambu itu tak pernah kulupa
Di siang hari suara bambu dan radio RRI
Adalah penambah selera makan
Kricak adalah cara kami membagi haru pada masa lalu
-- Yogi dan Adri, sudah kenyang pada
Kata-kataku yang pedas, tentu..
Meski sebenarnya kami sama-sama miskin, dulu..
Aku jadi ingat waktu sebelum pindah
Bapak- ibu- denis paham benar,
Rasanya menumpang.
Di rumah Nogotirto yang besar kami kebagian sekamar
Dalam pengertian yang manapun
Rumah sendiri adalah cara paling sederhana
Berbagi cinta. Sungguh.
Di padang bulan,
Kami menikmati redup, gelap,
Sekaligus mensyukuri
Temaram lilin-lilin kecil.
Sebagai orang tak punya kami merasa kaya
Sebab waktu berkumpul kami punya segalanya
Di kamar dan jendela kecil
Aku mafhum
Dengan keadaan-keadaan serba kurang.
Sebab di keadaan-keadaan serba terang
Segalanya tampak
: termasuk kesedihan
" Berbahagialah orang yang tak melihat namun percaya…"
Di padang bulan,
Cuma bulan yang putih itu
Jadi lampu bagi kampung-kampung tua,
bagi wajah konblok-konblok baru
Di kampung yang menuju modern
Konblok dipasang ialah
Nilai lama yang dipasung.
Sampai mati.
Nilai itu jalan bersama waktu
Dan melambai pada kita di belakang
Kita jauh ditinggal
Sebab begitu kita nikmati waktu
Masa lalu yang indah-indah itu
Takkan tertulis di kertas-kertas baru
Dan kita kian tua
Untuk menulis segala ihwal
Peristiwa-peristiwa lama
Satu sore kugeber mesin dari arah bener nuju pulang
Pelan sepelan beca’
Menjelang padang bulan,
Sawah cuma bau padi kering
Dan angin campur sisa makanan sapi
Sedang sejauh pandang
Tak lagi kunemu Jogja-Jogja dari kejauhan
Waktu masih kanak
Dengan jelas Plaza Borobudur itu
Dari sawah sebelah kami langganan susu
Sebagaimana ilalang yang mulai tumbuh
Di sawah mati, jadi ladang, jadi kebun,
Pohon-pohon kian rimbun
Selain tak terurus,
Rumah-rumah orang terus dibuat setinggi-tingginya
Tak lagi bisa adik-adik
Melihat gedung tinggi
Cukup dengan telanjang mata.
Pada kenyataannya,
Kian kesini kita makin
Tak bisa melihat kejujuran.
Sedikit demi banyak
Bila tak dengan mata telanjang
Hati telanjangpun sulit membedakan
Mana baik dan mana mesti diturut.
Pilihan menyisakan
Konsekuensi yang
Semuanya buram.
Sedang kita sendiri
Tak lagi yakin pada cara kita
Memilih.
Hidup memerlukan potret dan pemotret kenangan-kenangan
Yang tertinggal dan disapu waktu
Di sudut-sudut jalan.
Sebagaimana aku kini,
Kembali lagi ke masa dulu.
Mengabadikannya di noktah-noktah
Yang memaksamu terus mengikutinya...
2013
 |
Ilustrasi Oleh: Arda Awigarda |