Barangkali, inilah yang dinamakan
keyakinan: mengubah gaya hidup dan mempercayai satu hal sebagai satu tongkat
penuntun yang baru. Begitulah kira-kira sikap Maryono yang mengundang takzim bagiku pada hari ini. Maryono, seperti kebanyakan orang, merupakan pribadi yang
gersang di mataku. Aku tak begitu kenal, kecuali dari sekelebat lakunya sepanjang delapan
tahun terakhir di hidupnya. Namun bukankah simpati, apalagi pada kehilangan, boleh
datang dari siapa saja? Aku masih kelas 2 SMP ketika Maryono memutuskan untuk
bergereja di gereja kami yang mungil. Aku kecil baru saja mendapat motor Astrea Grand lungsuran dari kakak sepupu yang baru lulus sekolah menengah. Layaknya
anak seumuran lain yang sedang gemar-gemarnya naik motor, aku kecil tak kurang
ide untuk mengakali keterbatasan. Motor lungsuran itu langsung dimodif
seadanya. Jangan bayangkan knalpot Yoshimura, velg racing, atau hal-hal mahal
semacamnya. Aku kecil memutuskan membeli cat kayu seharga tiga ribu rupiah untuk
melumuri banyak bagian motor dengan ornamen sesuka hati.
Maryono, seorang simpatisan gereja
yang waktu itu sangat kerap berkunjung ke rumah, yang menawarkan bantuannya
padaku utk menceperkan motor dan mencangkok slebor depan Astrea Grand dengan
slebor Supra X, harapannya supaya motor jadul itu tak kelihatan ketinggalan
zaman amat. Aku membeli slebor supra di Klitikan jalan Mangkubumi, yang kini
sudah dipindah ke Kuncen, dengan harga lima puluh ribu rupiah. Waktu menunjuk
kira-kira jam tujuh malam, Maryono mulai dengan gegas sekaligus ringkas
membantuku melakukan make over motor dengan cara seadanya. “Untung ada Kang
Maryono,” pikirku dalam hati. Tanpa ia, tentu niatku mengubah motor grand menjadi
semi modern itu tak akan sampai.
Selain ingatan tentang itu, tak ada
yang benar-benar personal. Ada jarak di antara kami, seperti aku mencipta jarak
pada orang-orang banyak yang tak begitu kukenal. Ada kemungkinan lowong yang tak kami pelajari sebagai
manusia yang bisa berteman dekat. Aku, meskipun blangsat dan urakan, selalu
percaya bahwa lewat bergereja aku bisa menemu Tuhan. Di sanalah aku tak hanya
menemu Tuhan, tapi bertemu Maryono juga, aku lazim memanggilnya “Kang Maryono.”
Seorang sederhana yang sangat rajin ke gereja, hampir tak pernah melewatkan
misa panjang di gereja kami yang mungil. Gereja kami di pusat kota Yogyakarta,
sedangkan rumahnya di pelosok Magelang, tepatnya di Grabag. Tampak di mataku
bahwa jarak adalah perkara hati baginya, bukan panjang ruang atau ukuran
seberapa jauh. Aku banyak berhutang rasa padanya soal ini, sebab aku kerap
menganggap jarak sebagai sesuatu yang sangat sakral, sesuatu yang paling
penting untuk disiasati dalam hubungan antar manungsa.
Sekali ia menceritakan pengalaman
spiritualnya, bahwa ia merasa damai tiap kali berdoa, dan inilah yang
membuatnya sangat lekat dengan hal-hal gereja. Ia tak jarang membawa lima
putrinya yang cantik semuanya ke gereja, meski dalam pelbagai keterbatasan. Mungkin
inilah yang dinamakan orbituari. Kumpulan akan ingatan baik, tak ada keburukan
dan seakan-akan dalam orbituari itu orang jadi paling sempurna dan lengkap.
Bukankah benar, puzzle bisa dilihat jelas ketika sudah terangkai? Aku percaya
bahwa simpati pada kesedihan boleh datang dari siapa saja. Termasuk aku, orang
yang bukan siapa-siapa tapi merasa kehilangan. Begitu mendengar kabar
berpulangnya Kang Maryono, aku langsung memutuskan menulis, menangkap apa-apa
saja yang pernah ada dalam ingatanku yang seadanya. Untuk siapapun yang
membaca, kuanggap kalian juga ikut mendoakannya. Sebab tulisan, betapapun
jeleknya, adalah doa juga.
Terima kasih untuk bantuannya pada motorku yang lawas itu, kang. Kuantar kepergianmu dengan tulisan, sebagaimana orang Yunani
berkata pada kematian dengan lugas sekaligus halus, “Eonia i Mnimi.” kekallah
kenanganmu.