Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Jumat, 28 Juni 2013

Puisi Buat Kekasih ( Atawa hujan Kalimat )

Puisi Buat Kekasih ( Atawa hujan Kalimat )


Kekasih,
satu katapun aku sulit nemu
pensil inilah yang menuntunku
memulai kata demi kata, demi kata, demi kata
mulai dari huruf pertama sampai pungkas
bicara soal hal demi hal, demi hal, demi hal
soal sepakbola negeri yang meriang menahun, misalnya
atau soal dirimu yang suka datang tiba-tiba itu, misalnya
kubayangkan bakalan larut dan panjang
tulisan ini di bait-bait ke depan
lengkap persis
kisah kita yang
cepat melesat
sembunyi pada senyap
lampu-lampu kota tua,
tapi tetap tinggal


___


1.

Kekasih,
bila kita merindukan matahari
datanglah kita pada sebuah
pulau tanpa nama
seperti yang dikata Klaus Meine.
mendendang musik
yang tak luput pada masa-masa
seperti hidup kita ini
di dunia tanpa waktu


Seperti di pikuk hiruk
kesesakan macam-macam,
dirimu itu cuma perlu
menyalakan mata
membatin pikiranmu ada
di langit-langit kamar paling nyata
meracau nyanyi-nyanyi sunyi
yang bisu tapi paling merdu
Masih,
kau boleh membayangkan
derit-derit kursi panjang
dan nafas pendek-pendek


2.

Mungkin sekarang
kau sedang termenung
glundang-glundung
di kamarmu yang
sedang hujan itu


Mendengarkan gludug
paling syahdu
seperti lukisan-lukisan Dali
atau foto-foto ibumu di tahun-tahun lama


Atau mungkin sekarang
kau sedang cekak-cekikik
memekik-mekik tawa
dan menyimpan suaranya begitu rahasia
dalam dekik yang manis
persis sore dan kupu-kupu di Lempuyangan
sambil memandang layar
telepon genggam
melempar dan menahan
rindu-rindu pada kekasih baru


atau mungkin kau sedang murung
dirundung gelisah
bagai penantian pada pak pos
yang tak pernah datang
mengantar harum hujan dalam
sepucuk surat yang basah
oleh setetes
lelah, keringat, dan harap


atau tiap reka-reka peristiwa
mungkin kau tak mengalaminya
sebab aku hanya meracau
pada kertas yang tak pernah
mengeluh
meski kuumpat asu,
atau macam-macam umpatan lain khas
kota kita yang tak pernah
berhenti menjadi rumah tersyahdu
bagi sepasang kekasih
paling khalis


3.

Bila kita susur Malioboro,
kau menyukainya
kau suka hanya lewat saja
melihat pemandangan sini –sana
sambil membuang perasaan klise
menggenggam tanganku sekaligus
membenciku
ingin memukulku dengan
bibirmu yang merah jambu itu


Kau meniti di antara
suka tak suka
masygul dengan cinta paling kosong,
paling alpa


Sekarang sudah berapa lama?
tak lagi kaujumpa aku
dalam bunga tidur paling sakti


Wajahmu, kuberitahu
suka menyaru pada lagu-lagu
yang tak pernah kudengar kerap sebelumnya
di derap-derap syair bluegrass
yang mantap satu siang.
Mengantarku pada
dansa-dansa lembut di bayanganku
yang entah mana


Tidak setiap lagu bisa kita sayang
tapi beberapa suka mengajak kita
tamasya pada saat-saat dulu.
Ingatan soal masa kecil, misalnya
suka muncul dari lagu-lagu
Arswendo yang sederhana bukan main itu


Aku betah lama-lama
duduk di samping kandang ayam bapak
ada lincak dan pohon nangka rindang
kerap kujumpa rangrang
angkut makanan
dari mana ke mana
menyapa kawannya pada tiap perjumpaan
sesekali menggigit kulitku yang sering
tiduran di bawah situ
menikmati rehat siang
paling subtil sepanjang hari


Yang terbaik dari hujan
ialah ritus santap honkue
sereda hujan
ibu dan honkue
akan menjelma pelangi
paling warna-warni dan suci
membagi gembira bagi kami-kami.
lupa kita pada takut-takut sepanjang hari
pada rundung sepi mendung
dan gertak sambal petir-petir
yang memaksamu tiarap waktu hujan


Ketika baru bisa jalan
paling menyenangkan membeli bumbu dapur
ibu senantiasa mengirimku
pada garam, jahe, pete rese, brambang bawang
dan rasanya, dengan demikian
ia hendak membuatku lebih pasrah
menyerah bahwa masa kecil
tak bisa diremidi dan
begitu asyik, tentu saja


4.

Kekasih,
lihatlah seekor semut yang rambat
di pohon chestnut itu                                  
ia berjalan dengan langkah pendek
dan rasa kangen yang panjang
kepalanya tegak, tak tunduk,
pantang surut pada
tujuan yang ia, keluarga,
kerabat jauh, dekat, siapapun
tak pernah benar-benar pirsa


Bila sehari saja kita bisa
menjelma apapun
jadilah rangrang kita
di kota-kota suburb yang tak hingar
kita mandi di genangan
selepas gerimis
yang meniadakan
debu-debu di jendela kamar
pelajar-pelajar malas


Cinta tak pernah tumbuh
begitu tiba-tiba
mesti ada rencana,
kesempatan,
waktu tepat,
tapi tak pernah kita acuh
kita cuma berjalan di jalanan Jakarta
waktu Ramadhan tiba
sehingga buta kita
bahwa macet jalan dan hawa panas
begitu ranggas sepanjang hari
: cuma maghrib,
yang membawa cinta begitu akrab.


5.

Sekali waktu kau bicara
soal-soal masakan musim hujan
aku tak suka hujan
tak suka.


Hujan begitu mirip dirimu
suka membawa rasa sedih ke mana-mana
membisik waktu itu lewat kuping, lewat nyanyi, 
lewat kwatrin, lewat doa-doa, lewat segalanya
mengendapkan mata-mata kucing, mata-mata kalong, mata-mata iwak, mata-mata haru,
dan binar-binar matamu


Sekali kawanku menceriterakan soal tav me hamje me miss
di Tirana, seorang tamu akan dijamu dengan
masakan ini.
Dengan terong dan kentang tumbuk lembut, dicampur
rempah-rempah khas Balkan.
seperti tamu: asing dan ragu-ragu
aku ingin juga menjamu
dirimu pada satu waktu
dengan dingin hujan dan tatapan beku


Sekali kawanku menceriterakan tentang tarator
yaitu yoghurt cair dan potongan mentimun
ada sedikit bawang dipotong kecil-kecil
tapi hei ! bukankah bawang itu akan sempurna
untuk ciuman kita?
ciuman kepada waktu-waktu lewat
mengusir hujan dan membentuk
perigi di bibirmu yang telanjang
menyuguh kecemasan
pada fulan yang lambat datang


Dari Tirana ke Kosovo
jangan pergi jauh sampai Sarajevo
sebab perang dan kebencian
tak menyelesaikan apapun


6.

“ Dalam cinta,
tak ada kepastian yang ma’rifat
aku cuma menggumam Eliade
membawanya dalam pikir-pikir,
menanyamu dalam bayang
di selembar mapel dan sore-sore kabut
barangkali kau sepakat,
mungkin malah tak setuju
sebab dalam jarak
kau biasa mengambang
menggantung pertanyaan
di jemuran-jemuran baju
atau di paku-paku dinding kamar
berpaling dari mataku
yang mengendap di hatimu
dan menyembul di puting susu
meremasi kenangan dan jalan-jalan
sepanjang Jogja- Sala malam itu


Bila dingin rasuk pada
tubuhmu yang kuyup
sekali lagi,
tantanglah hujan
dengan tangan paling kepal
supaya lekas kau sadar
bahwa kaumesti berlari jauh ke padang Sahara, gurun Gobi,
Karakum, Mojave, dan Sonorah
untuk menampik rindu
dan mencicip tangismu
yang rambat dan ragu-ragu


7.

Kekasih,
di antara roman-roman yang murah tadi-tadi
cobalah kuberitahu kisah mahal
dari sepakbola miskin di negeri kaya
tapi menyedihkan bagai Bambang Ekalaya


Dari sini, barangkali
kau akan terus menjaga harapan
menjaga ingatan
dan seperti cerita orang ngepet
melindungi kenangan dari angin dan lilin padam


Pemain-pemain Medan turun ke jalan-jalan
tangis mereka merekam busa-busa, kata-kata, pekik pecah
sejarah masa lalu, kenangan manis, dan kebesaran rap-rap
lain lagi pemain-pemain Persis,
mereka hampir terusir dari tempat nginap
di sana pula, sayang, Mendieta terus dikenang
sebagai potret kelam pesakitan negeri ini
Sylla Bamba? Beberapa waktu lalu juga mengemis, miris
tapi jangan sekali hibur aku soal Tri Handoko !


“ Hey Anang Hadi, Anang Anang Hadi,
Hey Anang Hadi, Anang Anang Hadi,
Hey Anang Hadi, Anang Anang Hadi,
Anang Hadi, Anang Hadi ! “


Kau tentu ingat seberapa kuat M. Arif
seberapa hebat Andre Yoga
seberapa menyenangkan Bayu Cahyo
seberapa takar tawa Daniel Roekito pada
gol penalti Denilson,
dan ceria Denilson untuk Hector.
Pertandingan menjadi puisi,
Didik Tri Yulianto jadi syair yang getir.
doa-doa Sleman fans jadi megatruh
bagi Deltras dan dua gol yang sia-sia


Ketika kita terus berjuang,
penantian kita akan dilengkapi
dengan kidung-kidung haru
dari madah-madah rindu
para pejuang di tribun-tribun itu
dan doa tak pernah sia-sia.
Tak pernah..


___


Matahari mulai tergenang sore ini
tapi mata hati masih jelas
memancing di mata rindu
paling seru menjelang jam tujuh


Pensilku sudah diganti bolpen
dan ceritaku mulai usang
seperti rindu yang ditulis berulang
kukecup kertas ini seperti
pada keningmu kusemat sajak ini:
“The Less You Expect Thing to Bloom,
The More Likely It’s to be Sprung”



Holy Hill,

06282013