Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Senin, 24 Februari 2014

Stasiun Tugu dan Lanskap Kehilangan

Stasiun Tugu dan Lanskap Kehilangan


lanskap di stasiun tugu
aku dan kau tahu sekali ini.
pilar-pilar kokoh dan baja belanda
jam-jam besar dan gerbong-gerbong gelap


aku terlambat, suaramu masih tinggal,
tapi kau segera pergi.


roda-roda kereta berjalan
tatap papa mama tak kemanapun


kehilanganku
adalah kepergianmu yang malam jam tujuh
sedangkan bel kereta terus saja bunyi
ciuman ini mesti diakhiri


air matamu asin
tapi kaubilang
“ ini cuma sebentar..”


dalam dua tahun
kau pulang dan kita ketemu lagi dalam
langit-langit dan lidah yang sama panas


dirimu dengan cincin yang baru
aku pergi dan di antara kita debu


“doa-doa hari minggu seperti kecap orang gila,
gema adzan juga seperti suara yang lalu saja..
suara yang putus asa,"
katamu


tapi itulah, vira, itulah
kini sama kita tahu
kehilangan dan khianat
selalu tiba-tiba


Brookline, 24 Februari 2014



Jumat, 21 Februari 2014

Sakit Hati Kawan dan Caraku Membayangkannya

Sakit Hati Kawan dan Caraku Membayangkannya

" kebohongan, kurasa, adalah
penipuan selama seribu tahun
sejauh apapun kau minta dimaafkan
kau tetap tinggal di situ. dalam kesalahan."- diriku yang lain


aku bicara serius
dengan tatap mata
lebih cerah dari kunang-kunang
dan dengan kepul asap
lebih banyak
dari komilet
di sepanjang kodam


aku memaafkan rasa sakit
juga lebih serius
dibanding kecepatanmu
meminta ampun


daras doa itu tetap di situ, di sini, maksudku
dan kau mesti percaya ini
meski kau tukang bohong
dan aku selalu khilaf


begini akhirnya.. tapi okelah.
bukankah cinta selalu begitu?


Brookline, Februari 2014

Minggu, 09 Februari 2014

Surat Kepada Vira dan Kabar-Kabar yang Menyertai Isinya

Surat Kepada Vira dan Kabar-Kabar yang Menyertai Isinya

Brookline, 9 Februari 2014
“ tuliskan kesedihan semua tak bisa kuungkapkan..”


Hih!! Begitulah kenapa aku suka menulis. Nidji benar, sebab aku selalu gagal serius ketika melihat matamu. Aku gagal membaca arah mata angin dalam perbincangan kita yang selalu berakhir marah-marah. Namun itulah juga, Vira, yang mengekalkan kangenku di antara kebencian yang mengubun. Aku sudah lama tak menulis surat padamu, dan tentu juga karena aku sangat sibuk dan tak setiap waktu rindu. Selepas kau menikah, aku tentu tahu, menulis surat dan megutarakan rindu tak akan semudah kemarin-kemarin sore. Waktu kita sama-sama suka melihat bangau lewat di lapang ladang jagung Pak Roni, tuan tanah kampung kita yang kecil di Kasongan situ.


Sebenarnya aku ingin memulai suratku dengan pertanyaan-pertanyaan langu dan basi, seperti: Hi There ! Apa kabar? Kuharap kau baik-baik saja dan bola matamu tetap coklat dan suaramu tetap seperti Ruth Sahanaya ! tapi kok aku rasa itu justru akan membuatmu membuang kertas suratku tepat setelah kau membacanya. Mungkin aku cuma menduga karena aku sering merasa tak aman, dan kau tahu kalau dugaanku memang sering delapan puluh satu persen meleset. Di samping itu, aku mulai menggerakkan bolpoinku waktu di radio sedang diputar lagu-lagu Nidji yang kau tak begitu suka itu. Jadi.. aku tak perlu memulainya dengan lagu yang kausuka, kan?


Vira, apakah Papa masih suka mencuci mobil tiap sore jam empat-limaan, begitu?  Aku tak pernah berkomentar tentang ini, tapi itu adalah segambar kecil yang selalu kuingat dari papa. Kuharap ia selalu diberi sehat, dan mama selalu diantarkan ke mana-mana, terutama kalau mama sedang dirundung mendung dan ingin berdoa. Mereka pasangan yang imut, dan kupikir, keimutan itu tak datang tiba-tiba pada mereka- juga padamu. Kau dapat keimutan dari mereka, dan mereka barangkali dapat keimutan itu dari waktu yang menumbuhkan cinta mereka. Bagaimana dengan Mbak Lisa dan Mas Tifatul? Ah, lama pula aku tak ketemu mereka, selain aku memang suka memberi jarak pada mereka. Aku tak pernah benar-benar ingin kenal, dan itu kesalahanku yang lain.


Kalau kabarmu sendiri? Bagaimana anakmu yang mbarep? Bagaimana suamimu Si Budi Budeng Iwak Bandeng? Hahaha maaf aku masih sering menyebutnya begitu, duh.. Maksudku Si Budi Laksono yang ganteng itu. Kuharap semuanya baik, dan ia menjagamu dengan sebaik-baik mungkin. Di Brookline kemarin hujan deras, dan salju turun begitu lebat. Semua orang seperti tiba-tiba menjalankan laku Nyepi, meski bulan belum mati, dan tak banyak orang Hindu di sini. Maka ketika sedang mendengarkan streaming radio pop Indonesia tadi, aku kok jadi merasa ingin menulis surat padamu. Tak dibalas tak apa, dibalas ya syukur, semoga kalau dilihat Budi surat ini tak langsung dibuang. Budi bukan pencemburu, kan? Semoga. Doaku untuk kau sekeluarga, terutama buat Si Mbarep Alexander Agung. Peluk dari Paman !


Aku belum benar-benar menutup surat ini, sebab seperti biasa, aku masih suka menulis puisi dan memberikannya padamu cuma-cuma. Haha. Semoga kau suka.


Ini sudah petang, Vira, dan kita mesti main teka-teki
Apa yang paling sesak selain rindu?
Kalau kaujawab jarak, kau salah. sebab yang
paling sesak adalah kelas IPA
dan yang paling lowong adalah kelas Bahasa
ok kulanjutkan, Apa yang lebih tak bermutu dari main petak umpet?
Bukan donal bebek. Aduh Vira kau salah lagi.
Tapi menyimpan perasaan diam-diam.
Hahahhaa !



Sorry Buwoszch,

Karto Geni