Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Jumat, 27 Februari 2015

Ode Buat Kota Kita

Ode Buat Kota Kita


sumur kota kita takkan pernah kering,
meski seribu kemarau
bersemayam di kedalamannya


apa namanya jika bukan
percakapan yang kudus
rindu malu dan dada sesak.
degup jantung berkelindan
sengaja berkeliaran berjamjam


tangislah yang menyeka gagu.
transito dan hari minggu.
kelengkeng pingpong dan latar depan
bau hujan juga senyum ibu
derit sofa dan geli di antaranya


“ aku mencintaimu.“
“ betulkah?“
( betul )


jarak menjauhkan diri ini
dari suaramu yang lirihsayu
bulan mengendap
jadi tahun. mengitar
matahari
mengorbit
masa dulu
oh kau


sungguh 
kita 
adalah kota purba
yang jarang diziarahi
penduduk rantaunya.


begitulah tapi,
puisi ini buatmu.


Brookline

02272015

Rabu, 25 Februari 2015

Vito dan Keramaian

Vito dan Keramaian
Selamat Ulang Tahun, Mbon


fajar di sana dan beranda twitter begitu sepi. serupa terminal pagi yang lowong penumpang. hawa dingin, cuma hawa dingin, selebihnya krik-krik jangkrik yang mulai jarang.

sebelum kulanjutkan sajak dan kalimatku, sebaiknya kaudengar cerita berikut ini:


Sebangun pagi, tidur sebentar lagi, mandi, menujulah aku ke sekolah. Di antara kemacetan aku bergulat, lagu-lagu pop dari Kotak dan sepenggal dua penggal pesan pendekmu begitu menggairahkan. Segera kusangka, ini akan jadi awal dari hari yang biasa saja.
dari Kricak ke De Britto, lewat tengah ke arah AM Sangaji situ, lalu Boulevard UGM, semogalah motorku cukup bensin.

Di Gejayan barangkali sudah pukul tujuh kurang, gerbang khaki sekolah kami segera ditutup, aku menerobosnya dengan bantuan tangan.

Di kelas aku akan bertemu kawanku, paradoks yang sepotong-potong, anggaplah ia begitu. Barbarus hic ego sum, qui non nintelligor illis, dengan kata lain, Vito Adriono. hahaha. di muka esai J.J Rousseau sebelum ia memenangkan penghargaan menulis di Dijon, kalimat itu dimunculkan. Bahasa latin. Kira-kira artinya: inilah aku, Si Barbarian, karena orang-orang tak memahamiku.

Di antara kelas kimia yang membuat jumpalitan, atau fisika Bu Endah yang bikin pusing bukan kepalang, aku akan memijat Vito. Tentu aku memanggilnya Ambon. Dari tengkuk ke antara alisnya, dari kening ke pundak lagi. Pijatan menjelang jam istirahat. Sembari dia bercerita soal Eci, dambaannya yang bisa membuat cerita di antara kami seperti tak putus-putus. Bagi Vito, Eci barangkali adalah sesuatu yang lain, minyak kelapa yang bisa membuatnya lebih matang, kalau tak lebih garing. Kami membicarakan juga gagasan-gagasan dewasa dan kenapa menjadi sederhana begitu penting, secara mbuh. Aku tak kalah gegas bercerita padanya tentang kisahku dan Via, betapa sederhananya kami, betapa nakalnya kami, dan segala bumbu yang membuat kisah kami layak menang Oscar. (waaaa)

Demikianlah hari itu.

Pendek waktu dalam cerita, Ambon masuk kelas IPS dan aku terpaksa memilih kelas Bahasa. Di kelas Bahasa yang lebih mirip les-lesan, Ambon sering menyempatkan mampir, minta dipijat dan sekadar meracau tak jelas. Betapapun, Eci sudah jarang muncul. Bukan main. Kebiasaan ini berlanjut jadi budaya, membeku di sejarah lewat cerita yang sama, dan jadi tulang yang menguatkan perkawanan. Dan blablabla, tentu kami jarang lagi bertemu kini. Namun di antara kami telah tertanam rindu, sepotong dua potong kisah yang terlanjur tumbuh jadi manis.

Begitulah Ambon Vito. Dia adalah Ionanya Anton Chekhov dalam kehidupan yg lebih hangat. Ia memekikkan “Merry gentleman… Merry.. he-he ! Me-er-ry!” dengan muka teruk nan moody. Selalu ada cerita yang ingin disampaikan meski itu dalam diam, dan akhirnya disimpan sendiri. Selalu ada muka dan polah yang bertolak belakang seperti paradoks yang jembar pada caranya berjalan yang lempoh. Ia adalah barbarian yang tak mudah dipahami orang.


itulah ceritaku tadi, matur nuwun sudah menyimak. biarlah kini kulanjutkan sajakku.

tak terasa matahari sudah menyingsing dan hari segera dimulai. beranda twitter pun sudah bangun layaknya jombor yang sesak orang ramai. ada yang baru pulang dari kranggan dan ada yang sedang menuju sana. cakwe dan kudapan-kudapan lain.. eh sudah siang lagi. 

di sini malam segera tutup dan waktu memanglah ringkas. kau semogalah jangan percaya pada maxim yang mengatakan bahwa berubah tua adalah niscaya, sedangkan menjadi dewasa merupakan proses. dewasa dan tua bedanya sedikit saja. setua apapun ambon tetaplah sama buatku. kawanku yang manis, yang kepadanyalah aku ingin memijat siang-siang di kelas yang bosan. di kelas susah yang njelehi. hihihi 

buat dia, biar kuucapkan met ultah dan selalulah sehat.
cheers !


Brookline,
02252015

Saya dan Ambon dalam karya fotografi Agustinus Shindu Alpito

  

Minggu, 15 Februari 2015

Foto-Foto #6


misalkan kotaku adalah dadamu, akan kukelilingi setiap jalan dan kubaca sajak di antara musim-musimnya. 
misalkan kotaku adalah rumah, akan kutemani kau memasak seperti adik dan aku membaca cinta ibu dengan sungguh.
kausabarlah saja, dengan gembira dan keriangan yang janganlah putus. 

salam, 

























Sabtu, 14 Februari 2015

Requiem Dari Jauh

Requiem Dari Jauh


ada yang sesak nian, nia
seisi dada juga malam gelap


senyap singup hari kini.
gedung-gedung tinggi juga angin dingin
begitu liuk mengantar kabar buruk


rutuk kepergian
dan tekur kantuk
dan

sebab nasib tidaklah bisa ditampik,
maka daku berdoa
dari kesedihan yang paling
: kekallah kenanganmu


Boston

02142015