Vito dan Keramaian
Selamat Ulang Tahun, Mbon
fajar di sana dan beranda twitter begitu sepi. serupa terminal
pagi yang lowong penumpang. hawa dingin, cuma hawa dingin, selebihnya krik-krik
jangkrik yang mulai jarang.
sebelum kulanjutkan sajak dan kalimatku,
sebaiknya kaudengar cerita berikut ini:
Sebangun pagi, tidur sebentar lagi, mandi, menujulah aku ke
sekolah. Di antara kemacetan aku bergulat, lagu-lagu pop dari Kotak dan
sepenggal dua penggal pesan pendekmu begitu menggairahkan. Segera kusangka, ini
akan jadi awal dari hari yang biasa saja.
dari Kricak ke De Britto, lewat tengah ke arah AM Sangaji situ, lalu Boulevard
UGM, semogalah motorku cukup bensin.
Di Gejayan barangkali sudah pukul tujuh kurang, gerbang khaki sekolah kami segera ditutup, aku
menerobosnya dengan bantuan tangan.
Di kelas aku akan bertemu kawanku, paradoks yang
sepotong-potong, anggaplah ia begitu. Barbarus
hic ego sum, qui non nintelligor illis, dengan kata lain, Vito Adriono. hahaha.
di muka esai J.J Rousseau sebelum ia memenangkan penghargaan menulis di Dijon, kalimat itu dimunculkan. Bahasa latin. Kira-kira artinya: inilah aku, Si Barbarian, karena orang-orang tak memahamiku.
Di antara kelas kimia yang membuat jumpalitan, atau fisika
Bu Endah yang bikin pusing bukan kepalang, aku akan memijat Vito. Tentu aku memanggilnya
Ambon. Dari tengkuk ke antara alisnya, dari kening ke pundak lagi. Pijatan
menjelang jam istirahat. Sembari dia bercerita soal Eci, dambaannya yang bisa
membuat cerita di antara kami seperti tak putus-putus. Bagi Vito, Eci
barangkali adalah sesuatu yang lain, minyak kelapa yang bisa membuatnya lebih matang,
kalau tak lebih garing. Kami membicarakan juga gagasan-gagasan dewasa dan
kenapa menjadi sederhana begitu penting, secara mbuh. Aku tak kalah gegas bercerita padanya tentang kisahku dan Via,
betapa sederhananya kami, betapa nakalnya kami, dan segala bumbu yang membuat
kisah kami layak menang Oscar. (waaaa)
Demikianlah hari itu.
Pendek waktu dalam cerita, Ambon masuk kelas IPS dan aku
terpaksa memilih kelas Bahasa. Di kelas Bahasa yang lebih mirip les-lesan, Ambon
sering menyempatkan mampir, minta dipijat dan sekadar meracau tak jelas. Betapapun, Eci sudah jarang muncul. Bukan
main. Kebiasaan ini berlanjut jadi budaya, membeku di sejarah lewat cerita yang sama, dan jadi tulang yang menguatkan perkawanan. Dan blablabla, tentu kami jarang lagi bertemu kini. Namun di antara kami telah tertanam rindu, sepotong dua potong
kisah yang terlanjur tumbuh jadi manis.
Begitulah Ambon Vito. Dia adalah Ionanya Anton Chekhov dalam
kehidupan yg lebih hangat. Ia memekikkan “Merry gentleman… Merry.. he-he ! Me-er-ry!” dengan muka teruk nan moody. Selalu
ada cerita yang ingin disampaikan meski itu dalam diam, dan akhirnya disimpan sendiri. Selalu ada muka dan
polah yang bertolak belakang seperti paradoks yang jembar pada caranya berjalan yang lempoh. Ia adalah barbarian
yang tak mudah dipahami orang.
itulah ceritaku tadi, matur nuwun sudah menyimak. biarlah kini
kulanjutkan sajakku.
tak terasa matahari sudah menyingsing dan hari segera
dimulai. beranda twitter pun sudah bangun layaknya jombor yang sesak orang
ramai. ada yang baru pulang dari kranggan dan ada yang sedang menuju sana. cakwe
dan kudapan-kudapan lain.. eh sudah siang lagi.
di sini malam segera tutup dan waktu memanglah ringkas. kau semogalah jangan percaya pada maxim yang mengatakan bahwa berubah tua adalah niscaya, sedangkan menjadi dewasa merupakan proses. dewasa dan tua bedanya sedikit saja. setua apapun ambon tetaplah sama buatku. kawanku yang manis, yang kepadanyalah aku ingin memijat
siang-siang di kelas yang bosan. di kelas susah yang njelehi. hihihi
buat dia, biar kuucapkan met ultah dan selalulah sehat.
cheers !
Brookline,
02252015
 |
Saya dan Ambon dalam karya fotografi Agustinus Shindu Alpito |