Orang Gila dan Manekin yang Sumir
“ Beberapa hal
kupercaya akan membuatku lebih mencintaimu:
bunga krisan dan pohon
perdu
yang merahasiakan
wajahmu dan rindu-rindu sepanjang waktu “
Surat kecil itu terselip di sakuku, masih. Kekasihku memberi
itu ketika kami baru saja putus dan ia marah besar. Di antara kami tak ada
dendam yang terus atau rasa pahit yang panjang. Tapi seperti semua kisah kasih,
ia pergi jauh setelah kami putus. Ia enggan menemuiku, aku juga kecewa dengan
perpisahan. Seperti kekecewaanku pada semua ucapan selamat tinggal.
Sejauh kau mengayuh sepeda tua, sejauh itu kau akan
menemukan rumah baruku. Rumah luas di sekitaran hutan, jauh dari apa saja yang
hingar, termasuk kegelisahanmu yang luar biasa sengit. Aku tinggal di rumah
yang jauh sekarang, sejak perpisahan kami, segalanya tampak jauh lebih biasa
dari apapun sebelumnya.
Sejak malam itu, aku dan kekasihku tak pernah berkirim
kabar. Kami dulu suka bertemu begitu saja. Aku suka memandang tahi lalat di
dekat mata kakinya sebelah kiri, dan ia lebih suka menangis di depan mataku.
Jauh sebelum beberapa hari sebelum perpisahan kami, ia mencoba mengucap
janji-janji sederhana. “ Aku akan selalu mencintaimu, akan selalu begitu,” kau
tahu, ia punya suara lebih halus dari batik sutra yang biasa dibeli ibu di
pasar siang. Kain dingin sebagai selimut tidur menjelang kokok ayam.
Betapapun sudah lama kami tak bertemu, kekasihku tetap
menggelisahkan. Ia mengecewakan, menyakitkan. Lebih menakutkan dari macan
manapun yang akan kautemui di hutan. Aku terlanjur ingin melupakannya dan sebisa
mungkin membuang wajah dan ceritanya jauh-jauh dari pembuangan sampah paling
jauh yang mungkin kaujangkau. Mungkin di TPA Piyungan, TPA Bantar Gebang, atau
mana saja yang aku tak akan pernah ke sana. Biar namanya tinggal bersama
ton-tonan sampah yang kelewat biasa dibuang orang kaya dan disyukuri
pengais-pengais berkat-para juara kompetisi bersyukur itu.
Tuhan tak pernah terlambat dalam memberi senter, dian
kurung, obor, atau apapun yang menenerangi jalan panjangmu ke depan. Kau tahu,
aku dan kekasihku mensyukuri bibir lebih dari apapun di dunia ini. Sebab lewat
itu kami bisa mengarang cerita, berbohong, marah, menciumi apapun yang membuat
kami geli, dan membual sehingga kami tambah akrab. Menjelang perpisahan kami,
ia bisu. Ia memang tak banyak bicara, suka memandang bintang ketika orangtuanya
sudah tidur, atau ketika orang-orang kampung selesai ronda malam.
Kami dipertemukan lagi pada siang yang panas, ketika para
ibu melarang anak-anaknya minum es tapi mereka sendiri melanggarnya. Sudah tiga
puluh tahun sejak perpisahan yang membuatku membencinya, sangat membencinya.
Kau tahu, akan sulit memaafkan kekasihmu yang tiba-tiba pergi sedang ia sadar
kau masih mencintainya. Tentu, aku masih mencintainya ketika kami berpisah. Ia
sangat tahu hal ini.
Dan sejak perpisahan itu, sebenarnya aku tak langsung bisa
melupakannya. Aku rajin pergi ke pameran buku, membeli macam-macam buku
motivasi cinta dengan judul yang memberimu harapan untuk bangkit. Bangkit Dari
Keterpurukan, Lekas Sembuh dari Luka Hati, Tujuh Cara Melawan Tanda-Tanda Patah
Hati, dsb. Dari semua itu, aku paling suka” Cara berkomunikasi lewat Bathin.”
Aku gemar berdoa, menyukai doa sejak kecil. Sebab lewat doa, aku percaya bahwa segala harapan dan
caci maki banyak orang bisa sampai kepada siapa saja yang mendengarnya. Entah
santo, santa, malaikat, dan segala hal yang gaib.
Sejak aku merasa diri paling berdosa, aku tak pernah
menganggap doaku langsung sampai ke telinga Tuhan. Paling tidak atas
ketaklayakanku mengharap sesuatu, pesan itu disimpan dulu oleh malaikat dan
entah disampaikan pada Tuhan beberapa saat kemudian. Tapi itulah, buku
komunikasi bathin ini mengingatkanku pada doa. Katanya, yang perlu kaulakukan
adalah menyebut nama kekasihmu secara berulang,nanti getaran suaramu akan
sampai juga pada orang yang kautuju. Ini hal yang penting, pikirku.
Aku memang suka praktek menyebut nama kekasihku dalam hati,
sebelum akhirnya kami bertemu hari kemarin. Biasanya, penyebutan nama ini akan
berefek langsung hari itu juga, malam itu juga. Tapi kemarin ini tak biasa.
Kami bertemu di sebuah kedai susu di tengah kota kami. Kedai yang tak lekang
dimakan zaman sejak masa kami pacaran. Di sana muda-mudi biasa beradu pikir. Wajahnya
masih sama, lesung pipi dan bibirnya yang menyenangkan juga tetap tinggal. Aku
ada di antara rasa-rasa semrawut, buncah, tak karuan. Setelah tiga puluh tahun
aku cuma menghubunginya lewat bathin.
Kekasihku mirip angsa yang sedang angrem. Sendirian saja bersama kehamilannya yang tua. Aku
memberanikan diri menyapanya. “ Kau tahu, wajahmu banyak berubah setelah tiga
puluh tahun.” Aku basa-basi membuka percakapan sambil memandang matanya jauh ke
dalam, seakan-akan tiga puluh tahun di antara kami hanyalah peristiwa barusan.
Peristiwa barusan, di mana kami masih sama-sama mendidih untuk berebut siapa
yang paling berhak menyebut dirinya lebih cinta. Tapi coba pikirkanlah, setahun
berlalu begitu cepat. Melesat sangat singkat. Dari jam ke jam, malam ke malam,
minggu ke minggu. Bukankah tiga puluh tahun hanyalah kemarin yang terjadi
selama tiga puluh kali?
“ Kau masih saja tak sopan seperti dulu.” Ia membalas
pembukaanku dengan suara lirihnya yang khas. Ia adalah perpaduan Sala-Yogya
yang meledak-ledak sekaligus halus. Ingin diakui sekaligus tak ingin pamer. Aku
mafhum, keluarganya memang berasal dari Klaten. Kami berbincang di meja kecil
setelah obrolan kami tadi. Belakangan kutahu anaknya sudah tiga, dan ini adalah
kehamilannya yang keempat. Suaminya seorang insinyur yang jarang pulang tapi
gemar menabung benih di tubuh mantan kekasihku ini, lumayan brengsek, pikirku.
Untuk menjadi suami yang baik, kau cuma perlu bekerja.Lagian, siapa mau diberi
makan cinta?
Ia kubiarkan tak tahu soal hidupku. Di umur tua belum
menikah sebab takut mencintai orang yang salah. Aku nyaris masuk vihara dan
menjadi petapa. Supaya aku bisa lupa segala hal yang membuatku sedih dan
menangis, tapi percuma. Kukira, aku tak perlu lagi terasing dan mengurung diri
untuk melupakan sesuatu. Aku cuma sulit memaafkan diriku dan dirinya yang
ketika itu tak buru-buru berusaha bertahan. Bertahan dari segala hal yang masih
tinggal.
“ Apa kau masih merasa tiga puluh tahun lalu begitu dekat?”
pertanyaan ini secara cepat keluar dari bibirnya yang masih lekat di kenanganku
tiap waktu. “ Sejak undangan pernikahanmu dan foto-foto manis di dalamnya, aku
ragu untuk menjawab: ya. “ Aku tak mudah melupakan hari yang mungkin adalah
hari paling bahagia baginya itu. Aku seperti tersambar pohon cemara yang tinggi
ketika undangan itu sampai di kolong pintu depan kontrakanku yang mungil. Aku
adalah salah satu orang yang percaya bahwa manusia bisa berubah, termasuk
caranya memandang kebahagiaan.
“ Kau sendiri yang bilang kalau manusia berubah, ia dinamis,”
mantan kekasihku terus menodongku dengan ucapan-ucapanku di malam perpisahan
kami.
“ Kau tahu, ketika kaki kita menginjak bibir pantai, ombak
itu seakan-akan menyeret kita. Menipu kita seakan-akan kita bergerak.
Seakan-akan kita ada di atas kapal yang akan membawa kita berlabuh di sebuah
pulau kecil yang mengharukan untuk kita tinggal. Pada kenyataannya kaki kita
tetap menginjak pasir pantai dan ombak itu terus bergantian menyapu-nyapu
tungkai kaki kita yang tertipu. Kau tentu tahu.” Aku membalas interogasinya
yang semena-mena dengan sekenanya. Menurutku kita bisa berubah, tapi mentok di
situ-situ saja. Bukan omong kosong. Aku telah pergi mencari perempuan dari yang
tak cukup cantik sampai yang bisa membuatmu kejang, dari perempuan biasa hingga
yang membuatmu mesti membayar. Dari segalanya itu, aku tak bisa melupakan satu
nama. Satu nama itu terus menetap di hatiku, nyaris seperti benalu. Menghabiskan
waktuku sebagai penulis untuk menuliskan detil-detil di waktu silam,
mengantarkanku pada sembab sembilu yang jarang pergi, dan kesedihan yang susah
padam.
Tentu kau akan merasa bahwa tulisan ini kubumbui dengan metafor
tak penting, atau retorika yang kira-kira membawamu pada kesedihan juga. Kau
salah, ini serius sekali. Kekasihku adalah perempuan pertama yang membuatku
menerima takdirku sebagai pria tanpa istri. Tanpa pendamping yang mungkin bisa
menemanimu baca koran, makan siang, atau sekedar minum kopi sambil menunggu
waktu maghrib.
Ia memesan kopi aceh yang pekat dan meriah. Ia menyeduhnya
pelan dengan kosong, seperti ingin keluar menentang mataku yang daritadi tak
bisa pindah. Aku memang terus melihat wajahnya. Berharap aku bisa membaca berita-berita
terbaru lewat wajahnya. Apakah ia sedang bahagia, sedang sedih, anaknya yang
pertama sekolah di mana, bagaimana suaminya, baikkah ia, dan
pertanyaan-pertanyaan lain. Kau tahu, cinta itu tak datang begitu tiba-tiba.
Kecuali kau menemukannya lagi, kau berhutang pada kenangan. Lagipula, waktu
merupakan sekumpulan peristiwa yang lewat cepat dan menenggelamkanmu pada
kecemasan yang sesat. Tapi aku bukan tipe orang yang akan menuntut cinta
sepanjang malam. Aku bukan anjing yang setia kembali meski tuannya gila. Aku
telah berulang mengatakan perasaan-perasaan ganjil ini, tapi ia tak bergeming.
Menurutku, ia sudah buta pada segala cinta di antara kami.
Semoga akhirnya kaubisa membayangkan, seberapa sulit
beranjak dari mata kekasihku. Sepasang mata yang gelisah menahan sesuatu.
Kupandang terus hari itu. Sampai matanya tertutup rapat, begitu primpen, begitu
gelap. Dalam sejam ia jadi patung yang terbentuk secara sumir. Di warung susu
ia jadi manekin paling cantik untuk iklan susu hamil. Dan diriku, seperti
banyak orang tahu, masih jadi orang gila yang menghabiskan sisa hidupnya untuk
kesia-siaan yang tak banyak orang tahu. Aku tak tahu lagi berapa umurku, apalagi
cara mengukur satuan waktu. Seperti anjing di sampingku ini, setia, gila.
Jogja, 29 Agustus 2013
Ilustrasi: Labdo Grahito |