Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Kamis, 29 Agustus 2013

Orang Gila dan Manekin yang Sumir


Orang Gila dan Manekin yang Sumir


“ Beberapa hal kupercaya akan membuatku lebih mencintaimu:
bunga krisan dan pohon perdu
yang merahasiakan wajahmu dan rindu-rindu sepanjang waktu “


Surat kecil itu terselip di sakuku, masih. Kekasihku memberi itu ketika kami baru saja putus dan ia marah besar. Di antara kami tak ada dendam yang terus atau rasa pahit yang panjang. Tapi seperti semua kisah kasih, ia pergi jauh setelah kami putus. Ia enggan menemuiku, aku juga kecewa dengan perpisahan. Seperti kekecewaanku pada semua ucapan selamat tinggal.


Sejauh kau mengayuh sepeda tua, sejauh itu kau akan menemukan rumah baruku. Rumah luas di sekitaran hutan, jauh dari apa saja yang hingar, termasuk kegelisahanmu yang luar biasa sengit. Aku tinggal di rumah yang jauh sekarang, sejak perpisahan kami, segalanya tampak jauh lebih biasa dari apapun sebelumnya.


Sejak malam itu, aku dan kekasihku tak pernah berkirim kabar. Kami dulu suka bertemu begitu saja. Aku suka memandang tahi lalat di dekat mata kakinya sebelah kiri, dan ia lebih suka menangis di depan mataku. Jauh sebelum beberapa hari sebelum perpisahan kami, ia mencoba mengucap janji-janji sederhana. “ Aku akan selalu mencintaimu, akan selalu begitu,” kau tahu, ia punya suara lebih halus dari batik sutra yang biasa dibeli ibu di pasar siang. Kain dingin sebagai selimut tidur menjelang kokok ayam.


Betapapun sudah lama kami tak bertemu, kekasihku tetap menggelisahkan. Ia mengecewakan, menyakitkan. Lebih menakutkan dari macan manapun yang akan kautemui di hutan. Aku terlanjur ingin melupakannya dan sebisa mungkin membuang wajah dan ceritanya jauh-jauh dari pembuangan sampah paling jauh yang mungkin kaujangkau. Mungkin di TPA Piyungan, TPA Bantar Gebang, atau mana saja yang aku tak akan pernah ke sana. Biar namanya tinggal bersama ton-tonan sampah yang kelewat biasa dibuang orang kaya dan disyukuri pengais-pengais berkat-para juara kompetisi bersyukur itu.


Tuhan tak pernah terlambat dalam memberi senter, dian kurung, obor, atau apapun yang menenerangi jalan panjangmu ke depan. Kau tahu, aku dan kekasihku mensyukuri bibir lebih dari apapun di dunia ini. Sebab lewat itu kami bisa mengarang cerita, berbohong, marah, menciumi apapun yang membuat kami geli, dan membual sehingga kami tambah akrab. Menjelang perpisahan kami, ia bisu. Ia memang tak banyak bicara, suka memandang bintang ketika orangtuanya sudah tidur, atau ketika orang-orang kampung selesai ronda malam.


Kami dipertemukan lagi pada siang yang panas, ketika para ibu melarang anak-anaknya minum es tapi mereka sendiri melanggarnya. Sudah tiga puluh tahun sejak perpisahan yang membuatku membencinya, sangat membencinya. Kau tahu, akan sulit memaafkan kekasihmu yang tiba-tiba pergi sedang ia sadar kau masih mencintainya. Tentu, aku masih mencintainya ketika kami berpisah. Ia sangat tahu hal ini.


Dan sejak perpisahan itu, sebenarnya aku tak langsung bisa melupakannya. Aku rajin pergi ke pameran buku, membeli macam-macam buku motivasi cinta dengan judul yang memberimu harapan untuk bangkit. Bangkit Dari Keterpurukan, Lekas Sembuh dari Luka Hati, Tujuh Cara Melawan Tanda-Tanda Patah Hati, dsb. Dari semua itu, aku paling suka” Cara berkomunikasi lewat Bathin.” Aku gemar berdoa, menyukai doa sejak kecil. Sebab lewat doa, aku percaya bahwa segala harapan dan caci maki banyak orang bisa sampai kepada siapa saja yang mendengarnya. Entah santo, santa, malaikat, dan segala hal yang gaib.


Sejak aku merasa diri paling berdosa, aku tak pernah menganggap doaku langsung sampai ke telinga Tuhan. Paling tidak atas ketaklayakanku mengharap sesuatu, pesan itu disimpan dulu oleh malaikat dan entah disampaikan pada Tuhan beberapa saat kemudian. Tapi itulah, buku komunikasi bathin ini mengingatkanku pada doa. Katanya, yang perlu kaulakukan adalah menyebut nama kekasihmu secara berulang,nanti getaran suaramu akan sampai juga pada orang yang kautuju. Ini hal yang penting, pikirku.

Aku memang suka praktek menyebut nama kekasihku dalam hati, sebelum akhirnya kami bertemu hari kemarin. Biasanya, penyebutan nama ini akan berefek langsung hari itu juga, malam itu juga. Tapi kemarin ini tak biasa. Kami bertemu di sebuah kedai susu di tengah kota kami. Kedai yang tak lekang dimakan zaman sejak masa kami pacaran. Di sana muda-mudi biasa beradu pikir. Wajahnya masih sama, lesung pipi dan bibirnya yang menyenangkan juga tetap tinggal. Aku ada di antara rasa-rasa semrawut, buncah, tak karuan. Setelah tiga puluh tahun aku cuma menghubunginya lewat bathin.


Kekasihku mirip angsa yang sedang angrem. Sendirian saja bersama kehamilannya yang tua. Aku memberanikan diri menyapanya. “ Kau tahu, wajahmu banyak berubah setelah tiga puluh tahun.” Aku basa-basi membuka percakapan sambil memandang matanya jauh ke dalam, seakan-akan tiga puluh tahun di antara kami hanyalah peristiwa barusan. Peristiwa barusan, di mana kami masih sama-sama mendidih untuk berebut siapa yang paling berhak menyebut dirinya lebih cinta. Tapi coba pikirkanlah, setahun berlalu begitu cepat. Melesat sangat singkat. Dari jam ke jam, malam ke malam, minggu ke minggu. Bukankah tiga puluh tahun hanyalah kemarin yang terjadi selama tiga puluh kali?


“ Kau masih saja tak sopan seperti dulu.” Ia membalas pembukaanku dengan suara lirihnya yang khas. Ia adalah perpaduan Sala-Yogya yang meledak-ledak sekaligus halus. Ingin diakui sekaligus tak ingin pamer. Aku mafhum, keluarganya memang berasal dari Klaten. Kami berbincang di meja kecil setelah obrolan kami tadi. Belakangan kutahu anaknya sudah tiga, dan ini adalah kehamilannya yang keempat. Suaminya seorang insinyur yang jarang pulang tapi gemar menabung benih di tubuh mantan kekasihku ini, lumayan brengsek, pikirku. Untuk menjadi suami yang baik, kau cuma perlu bekerja.Lagian, siapa mau diberi makan cinta?


Ia kubiarkan tak tahu soal hidupku. Di umur tua belum menikah sebab takut mencintai orang yang salah. Aku nyaris masuk vihara dan menjadi petapa. Supaya aku bisa lupa segala hal yang membuatku sedih dan menangis, tapi percuma. Kukira, aku tak perlu lagi terasing dan mengurung diri untuk melupakan sesuatu. Aku cuma sulit memaafkan diriku dan dirinya yang ketika itu tak buru-buru berusaha bertahan. Bertahan dari segala hal yang masih tinggal.


“ Apa kau masih merasa tiga puluh tahun lalu begitu dekat?” pertanyaan ini secara cepat keluar dari bibirnya yang masih lekat di kenanganku tiap waktu. “ Sejak undangan pernikahanmu dan foto-foto manis di dalamnya, aku ragu untuk menjawab: ya. “ Aku tak mudah melupakan hari yang mungkin adalah hari paling bahagia baginya itu. Aku seperti tersambar pohon cemara yang tinggi ketika undangan itu sampai di kolong pintu depan kontrakanku yang mungil. Aku adalah salah satu orang yang percaya bahwa manusia bisa berubah, termasuk caranya memandang kebahagiaan.


“ Kau sendiri yang bilang kalau manusia berubah, ia dinamis,” mantan kekasihku terus menodongku dengan ucapan-ucapanku di malam perpisahan kami.
“ Kau tahu, ketika kaki kita menginjak bibir pantai, ombak itu seakan-akan menyeret kita. Menipu kita seakan-akan kita bergerak. Seakan-akan kita ada di atas kapal yang akan membawa kita berlabuh di sebuah pulau kecil yang mengharukan untuk kita tinggal. Pada kenyataannya kaki kita tetap menginjak pasir pantai dan ombak itu terus bergantian menyapu-nyapu tungkai kaki kita yang tertipu. Kau tentu tahu.” Aku membalas interogasinya yang semena-mena dengan sekenanya. Menurutku kita bisa berubah, tapi mentok di situ-situ saja. Bukan omong kosong. Aku telah pergi mencari perempuan dari yang tak cukup cantik sampai yang bisa membuatmu kejang, dari perempuan biasa hingga yang membuatmu mesti membayar. Dari segalanya itu, aku tak bisa melupakan satu nama. Satu nama itu terus menetap di hatiku, nyaris seperti benalu. Menghabiskan waktuku sebagai penulis untuk menuliskan detil-detil di waktu silam, mengantarkanku pada sembab sembilu yang jarang pergi, dan kesedihan yang susah padam.


Tentu kau akan merasa bahwa tulisan ini kubumbui dengan metafor tak penting, atau retorika yang kira-kira membawamu pada kesedihan juga. Kau salah, ini serius sekali. Kekasihku adalah perempuan pertama yang membuatku menerima takdirku sebagai pria tanpa istri. Tanpa pendamping yang mungkin bisa menemanimu baca koran, makan siang, atau sekedar minum kopi sambil menunggu waktu maghrib.


Ia memesan kopi aceh yang pekat dan meriah. Ia menyeduhnya pelan dengan kosong, seperti ingin keluar menentang mataku yang daritadi tak bisa pindah. Aku memang terus melihat wajahnya. Berharap aku bisa membaca berita-berita terbaru lewat wajahnya. Apakah ia sedang bahagia, sedang sedih, anaknya yang pertama sekolah di mana, bagaimana suaminya, baikkah ia, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Kau tahu, cinta itu tak datang begitu tiba-tiba. Kecuali kau menemukannya lagi, kau berhutang pada kenangan. Lagipula, waktu merupakan sekumpulan peristiwa yang lewat cepat dan menenggelamkanmu pada kecemasan yang sesat. Tapi aku bukan tipe orang yang akan menuntut cinta sepanjang malam. Aku bukan anjing yang setia kembali meski tuannya gila. Aku telah berulang mengatakan perasaan-perasaan ganjil ini, tapi ia tak bergeming. Menurutku, ia sudah buta pada segala cinta di antara kami.


Semoga akhirnya kaubisa membayangkan, seberapa sulit beranjak dari mata kekasihku. Sepasang mata yang gelisah menahan sesuatu. Kupandang terus hari itu. Sampai matanya tertutup rapat, begitu primpen, begitu gelap. Dalam sejam ia jadi patung yang terbentuk secara sumir. Di warung susu ia jadi manekin paling cantik untuk iklan susu hamil. Dan diriku, seperti banyak orang tahu, masih jadi orang gila yang menghabiskan sisa hidupnya untuk kesia-siaan yang tak banyak orang tahu. Aku tak tahu lagi berapa umurku, apalagi cara mengukur satuan waktu. Seperti anjing di sampingku ini, setia, gila.


Jogja, 29 Agustus 2013


Ilustrasi: Labdo Grahito