Kamar
Dia menangis. Dia
pergi. Dia menangis lagi. Pergi lagi dari kamarnya yang singup. Dia luntang
lantung dan mati gaya. Tapi memang tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk
keluar dari cerita cinta yang kelam. Cerita cintanya kelewat susah. Kekasihnya
mengatakan padanya bahwa cinta adalah sesuatu yang tak bisa ditebak, itu
artinya, kekasihnya bisa berkhianat padanya secara manasuka.
Gerimis mulai kering, tapi petir dan geletar halilintar belum juga reda. Setelah lelah dan penat dan luntang lantung, dia memilih menyendiri di kamarnya yang mungil.
“ Kenapa kau
memilih mencintaiku? “
kata-kata
kekasihnya tak pernah benar-benar menjadi sebuah pertanyaan. Terhadap
takdir, dia tahu betul bahwa pilihan tak begitu banyak di hadapannya.
Suatu siang yang semenjana dan tak banyak omong, dia sudah
berkali-kali pergi jauh. Tapi kepergian perlu kehendak kuat, juga kehendak
Tuhan, dia tahu betul soal ini. Kepergian terjauhnya adalah ke RW sebelah, dia
memancing ikan di selokan kecil di situ. alih-alih menangkap seekor, dia justru
kehilangan pancingan.
Semua orang tahu nasib sial adalah seberat-berat cobaan, dan
hidup seseorang tak pernah lepas dari ini, seberapa pun beruntungnya seseorang.
“ Kenapa kau memilih mencintaiku?”
Dia muak dengan pertanyaan yang diulang, sedang jawaban dari
pertanyaan kemarin belum juga mampir ke benaknya.
Maka dia menikmati sepi kamarnya dengan getir, dengan
kesedihan dan muka linglung, dengan kopi sachet yang kebanyakan air, dan dengan
air matanya sendiri.
Dia tahu kekasihnya ini bejat betul. Sudah bercinta dengan
banyak laki-laki sebelumnya, dan masih mencintai laki-laki di masa lampaunya,
dan masih ditampakkannya hingga sekarang. hal-hal semacam ini lumrah sekaligus
tak bisa dihindari. Dia bertahan. Dia bertahan. Air menggenang di setiap hilir
kali, di setiap diri dan nadi. Di pikirannya apalagi, dia sungguh tak bisa
berbuat apapun yang spektakuler untuk mengubah suasana. Derit kursi dan
cinta-cinta murah, demi itu semua segalanya memang manis.
“ Kalau saja aku
bisa memilih… aku lebih memilih… “
“ Apa? “
“ Aku tentu akan memilih orang lain “
“ Tapi kautahu
bahwa seratus persen cinta di hati ini tak sepenuhnya milik seseorang, kubagi
padamu sepuluh persen, bahkan sepersen pun kaubilang cukup untuk membikin kau
yakin. “
Dia dan
kekasihnya tak pernah betul-betul bertengkar. Dia tahu kesedihan mesti
disimpan sendiri dan sebaik-baiknya. Di hadapan banyak orang, mukamu harus
segar dan tak boleh muram, tak boleh tertekuk apalagi mendung. Inilah yang
paling vital sebagai manusia, dia tahu bahwa kau harus hidup dengan citra
sebaik-baiknya. Kekasihnya tetap diajak kencan, cintanya masih dijaga sama
besar, tapi…
Apa yang paling kuat dari kata tapi? sekata ini bisa
membalikkan keadaan baik jadi kritis, dan keadaan buruk jadi menyegarkan.
Tapi, cinta yang dia pegang itu menyusut seminggu
belakangan. Dia tak bisa lagi mencorat coret dinding kamarnya dengan puisi
mbeling seperti: aku aku aku aku cinta cinta cinta cinta kamu kamu kamu, apapun
apapun, sedalam sedalam sedalam, apapun apapun, pada siapapun, kau melabuhkan
rindu. kumpulan kata-kata ini ditulis miring di temboknya yang berwarna krem. Ibunya pernah protes dan menghapus
beberapa kata-kata di situ dengan minyak, malah menimbulkan bercak yang aneh.
Kamarnya memang
aneh. Penghuninya aneh. Dia tahu kalau dia aneh. Seleranya pada perempuan juga
selalu diolok-olok oleh kawan-kawannya yang jauh. Dia memang tak punya kawan
dekat. Di sekitarnya cuma tumbuh benalu dan mimpi buruk. Dia sangat membenci
malam. Membenci sekaligus menyukainya malu-malu.
“ Malam cuma
membawakan padamu dua hal: perih dan suara jangkrik. “
“ Aku menyukai
suara jangkrik. “
“ Aku tak
menyukai suara jangkrik, apalagi perih. Keduanya begitu lalim dan tak punya
pengertian. “
Dia linting
tembakau temanggung itu di kertas rokok yang manis, disesapnya pelan-pelan. Kamarnya
mulai berasap. Dia merasa bahagia, dibayangkannya asap itu sebagai tiang-tiang
awan yang menyangga khayangan. Dirindukannya. Duka. Dirindukannya duka. Tak ada
kesedihan yang berarti di dunia yang gelap ini. Dia percaya, setiap sudut mana
pun di dunia ini akan mengokangkan padanya rindu pelan-pelan, menembusi pikirannya
yang kecil, mimpinya yang buruk, dan angan-angannya yang terjal.
“ Percayakah kau,
bahwa ada manusia hidup seperti malaikat yang bijak bestari? “
“ Di lorong-lorong gang, orang mabuk pun bisa merasa suci.
Di motel-motel reyot, para pelacur punya niat baik. Lantas apa yang
kauharapkan, kekasihku yang rupawan? “
“ Percayakah kau, bahwa ada cinta tanpa mengharap imbal
balik? ”
“ Kekasihku yang
lumpang dan bodoh, tidurlah. Tidurlah. Di sampingmu ada perempuan yang sama
bodoh denganmu, dan kita akan berusaha pintar. Sampai maut memisahkan. “
Dia merasakan
betul asap itu masuk melalui kerongkongannya, keluar lagi lewat saluran
pernapasannya yang lain. Hidup di luar kamarnya begitu gemerlap. Tapi. Tapi
siapa peduli. Bulan runtuh, hari-hari jatuh, kata-kata luluh. Kamarnya makin
pengap, dia ambil bir dingin dari kulkas kecil di depannya. Dia tenggak bir
itu. Pelan-pelan. Ia membayangkan bapak ibunya yang jauh. Adik-adiknya yang
jauh. Dia rebah. Dia regah.
Oooh dewa penenang ombak, kemarilah mabuk denganku
yang susah tidur. Oooh dewa cupid, berikanlah padaku cinta satu lagi. Biar
kutabung, biar kusemai, biar kujadikan sungai tempat aku menenangkan diri lepas
lelah kerja.
Dia meracau
dengan suara berat. Parau. Pita suaranya seperti habis dijemur seharian. Kekasihnya
tak juga datang. Dia menunggu. Dia menunggu ponselnya berdering ( pulsanya
habis dan baterai tinggal 34 persen ). Halooo. Halooooo ! Haloo...
Dia mabuk dan
tertidur, kesedihan masih tinggal di bajunya yang longgar. Di dalam mimpi dia
justru bertemu bidadari cantik. Sebangun tidur celana dia basah. Dan kamarnya
seperti kapal karam yang masih beruntung.
Ternyata dunia ini tak buruk-buruk amat !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar