Surat Kepada Vira dan Kabar-Kabar yang Menyertai Isinya
Brookline, 9
Februari 2014
“ tuliskan
kesedihan semua tak bisa kuungkapkan..”
Hih!! Begitulah
kenapa aku suka menulis. Nidji benar, sebab aku selalu gagal serius ketika
melihat matamu. Aku gagal membaca arah mata angin dalam perbincangan kita yang
selalu berakhir marah-marah. Namun itulah juga, Vira, yang mengekalkan kangenku
di antara kebencian yang mengubun. Aku sudah lama tak menulis surat padamu, dan
tentu juga karena aku sangat sibuk dan tak setiap waktu rindu. Selepas kau
menikah, aku tentu tahu, menulis surat dan megutarakan rindu tak akan semudah
kemarin-kemarin sore. Waktu kita sama-sama suka melihat bangau lewat di lapang
ladang jagung Pak Roni, tuan tanah kampung kita yang kecil di Kasongan situ.
Sebenarnya aku
ingin memulai suratku dengan pertanyaan-pertanyaan langu dan basi, seperti: Hi There ! Apa kabar? Kuharap kau baik-baik
saja dan bola matamu tetap coklat dan suaramu tetap seperti Ruth Sahanaya !
tapi kok aku rasa itu justru akan membuatmu membuang kertas suratku tepat
setelah kau membacanya. Mungkin aku cuma menduga karena aku sering merasa tak
aman, dan kau tahu kalau dugaanku memang sering delapan puluh satu persen
meleset. Di samping itu, aku mulai menggerakkan bolpoinku waktu di radio sedang
diputar lagu-lagu Nidji yang kau tak begitu suka itu. Jadi.. aku tak perlu
memulainya dengan lagu yang kausuka, kan?
Vira, apakah
Papa masih suka mencuci mobil tiap sore jam empat-limaan, begitu? Aku tak pernah berkomentar tentang ini, tapi
itu adalah segambar kecil yang selalu kuingat dari papa. Kuharap ia selalu
diberi sehat, dan mama selalu diantarkan ke mana-mana, terutama kalau mama
sedang dirundung mendung dan ingin berdoa. Mereka pasangan yang imut, dan
kupikir, keimutan itu tak datang tiba-tiba pada mereka- juga padamu. Kau dapat
keimutan dari mereka, dan mereka barangkali dapat keimutan itu dari waktu yang
menumbuhkan cinta mereka. Bagaimana dengan Mbak Lisa dan Mas Tifatul? Ah, lama
pula aku tak ketemu mereka, selain aku memang suka memberi jarak pada mereka.
Aku tak pernah benar-benar ingin kenal, dan itu kesalahanku yang lain.
Kalau kabarmu
sendiri? Bagaimana anakmu yang mbarep? Bagaimana suamimu Si Budi Budeng Iwak
Bandeng? Hahaha maaf aku masih sering menyebutnya begitu, duh.. Maksudku Si
Budi Laksono yang ganteng itu. Kuharap semuanya baik, dan ia menjagamu dengan
sebaik-baik mungkin. Di Brookline kemarin hujan deras, dan salju turun begitu
lebat. Semua orang seperti tiba-tiba menjalankan laku Nyepi, meski bulan belum
mati, dan tak banyak orang Hindu di sini. Maka ketika sedang mendengarkan
streaming radio pop Indonesia tadi, aku kok jadi merasa ingin menulis surat
padamu. Tak dibalas tak apa, dibalas ya syukur, semoga kalau dilihat Budi surat
ini tak langsung dibuang. Budi bukan pencemburu, kan? Semoga. Doaku untuk kau
sekeluarga, terutama buat Si Mbarep Alexander Agung. Peluk dari Paman !
Aku belum
benar-benar menutup surat ini, sebab seperti biasa, aku masih suka menulis
puisi dan memberikannya padamu cuma-cuma. Haha. Semoga kau suka.
Ini sudah
petang, Vira, dan kita mesti main teka-teki
Apa yang paling
sesak selain rindu?
Kalau kaujawab
jarak, kau salah. sebab yang
paling sesak
adalah kelas IPA
dan yang paling
lowong adalah kelas Bahasa
ok kulanjutkan,
Apa yang lebih tak bermutu dari main petak umpet?
Bukan donal
bebek. Aduh Vira kau salah lagi.
Tapi menyimpan
perasaan diam-diam.
Hahahhaa !
Sorry Buwoszch,
Karto Geni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar