Kalau memang benar kita punya
kehidupan lain di waktu lalu, Carin, aku yakin betul kita pernah setidaknya
berpapasan di sana. Keyakinan bisa datang dari mana saja, kan? dan lebih
penting dari itu, ia sering tak butuh alasan kuat. Perjumpaan kali pertama denganmu kuawali
dengan tatapan aneh sekaligus perasaan menjaga jarak. Aku sadar kau adalah
perempuan yang barangkali menjaga dirimu dengan baik, sedang aku waktu SMA tak
peduli amat dengan penampilan. Rambutku yang gondrong lusuh mungkin membawa
pikiranmu menerka-nerka, “kok anak ini bisa menarik, ya?” Hahaha itu adalah
Kegeeran yang percuma, barangkali. Setelah sekian lama pula mungkin kau pasti
akhirnya tahu kalau aku ini memang laki-laki yang narsis.
Cinta sejati tak butuh
pembuktian, Carin, dan kau tahu betul soal ini. Aku memang lelaki brengsek yang
mengaku padamu bahwa aku mencintai orang lain dalam hidupku sejak kali pertama
kita bertemu, sekaligus mengaku bahwa aku punya ketertarikan yang dalam
denganmu. Kau yang masih kecil itu barangkali tertohok dengan laki-laki
brengsek macam aku ini, laki-laki yang menawarkan produk yang kausuka sekaligus tak
boleh kaubeli. Hahaha, LOL. Kisah kita ini mirip Anthony dan Cleopatra versi
tak jadi, atau Siti Nurbaya versi rusak. Kita punya halangan kita sendiri, dan
kita adalah orang bodoh yang maklum dengan ketersesatan. Kita barangkali punya
cadangan kesedihan lebih banyak dari Neruda yang puisi-puisinya begitu murung,
tapi aku merasa kau adalah juru mudi handal yang tahu bagaimana mengarahkan
kapal untuk tak karam (betapapun besar ombak dan kencang angin).
Jika suatu saat kau lupa padaku, jangan cari aku, karena aku akan sudah
lupa padamu. Neruda tahu benar bagaimana masa depan cinta-cintaan melulu
begitu. Kalah-menang-atau remis. Pergi sendiri-sendiri dengan kalut atau berpisah
baik-baik. Kau tahu bagaimana aku memilih kalah dengan cinta sebelum kamu, dan
aku tak mau menang-kalah denganmu. Xixi. Setelah sekian lama aku juga tahu kau
lebih pandai ketimbang Van Gogh dalam mengontrol perasaan, padahal kau tak bisa
melukis, dan ini jelas poin plus bagimu. Kau mafhum aku tak pernah puas seperti
Picasso, dalam hal cinta-cintaan. Namun kau teman yang kelewat baik, mau susah
di segala hal, bahkan dalam keadaan aku tak punya duit, ini poin plus lagi
untukmu.
Carin yang cantik, kalau aku
menulis novel roman yang panjang, aku pasti akan menulis karakter sepertimu di
dalamnya. Kau tak perlu merengek, “kok aku nggak pernah ada di tulisanmu?”
hahaha Carin yang disayang Allah, karya orang adalah rentetan kehidupan
pembuatnya yang diperkecil. Betapapun jauh tulisanku dari kisah-kisah asli,
mereka adalah sejumput dari aku yang sebenarnya. Namun jangan kau khawatir soal
omonganku ini, fakta terbaiknya, aku tak pandai menulis, dan mungkin tak akan
pernah membuat novel !
Keluargaku adalah cinta
pertamaku, sedang kau mungkin cinta yang kesekian. Tapi urutan yang kubuat
adalah berdasarkan waktu aku mengenalnya. Aku tak pernah benar-benar membuat
urutan soal cinta, seperti kau sering mendesakku soal cinta macam apa yang paling
nyantol di kepalaku. Cinta yang nyantol di kepalaku, Carin, adalah cinta yang
setiap saat. Cinta yang aktual dan kini, dan itu memang bisa jadi apa saja. Hari-hari seperti ini adalah monumen cinta yang baik buatmu, seperti masjid
yang boleh menampung doamu sendirian saja di padat-padat jadwalmu mengungsi
pada kesepian seperti halnya anak-anak rantau kebanyakan. Xixi. Aku yang
berjarak delapan jam terbang dari kotamu ini, lewat surat ini, sebenarnya ingin
mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke dua puluh satu untukmu. Sekaligus maaf kalau
ucapan ulang tahun saja pakai mubeng
minger. Aku cuma ingin kau percaya bahwa tulisanku bukan melulu soal si
fulan. Si itu atau si itu. Hahahaa Xronia Polla !!
7 Januari di Atlanta jam 12 siang yang sama dengan 7 Januari di kotamu,
Bonn. Namun sudah tanggal 8 di kota kita, Yogyakarta. hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar