Gerimis dan Pop
Hari Jumat. Dari aku bangun tidur
tadi, kubuka gorden kamar yang putaran itu. Kuputar kiri kanan. Aku bisa lihat
di luar sedang hujan. Di kotaku, Boston, hujan selalu datang seperti ini.
Serupa busa-busa kecil yang turun pelan. Ini tidak sungguh-sungguh hujan,
bathinku. Ini adalah gerimis yang datang tiba-tiba, seperti dulu ia biasa
datang padaku.
Hujan gerimis rimbis imbas imbis.
Ia menuntunku seperti aku menuntun bapak tua di Harvard street, dan berbisik:
"Tidur lagi, nak. “
Hari akan jadi panjang, pikirku. Hari ini praktis tidak
kulakukan apapun yang berarti selain kuliah sejam. Oiya lupa, aku punya kerja
yang tak mungkin kutinggal jam dua belas nanti. Kutolak tidur lagi. "Emoh
!"
Langit mendung dan suara gerimis
itu persis wajahmu yang sedang murung, wajahmu yang menahan air mata entah
kerna apa. Hoaaahm. Kau-kau-kau-kau. Lagi-lagi lagi. Tak terasa sudah lebih
dari setengah jam dari aku bangun. Aku meracau di dalam tulisan-tulisan, yang
sedang kuceritakan ini. Ya, ini.
Pikiran sekelebat tentangmu tadi dengan
gaib memecah fokusku untuk mengingat sisa-sisa mimpi semalam.
Apa ya tadi mimpiku? APA YA?! AAAH
!...
Aku rebahan lagi, lihat atas, rebah kiri kanan. Sepertinya
semalam aku mimpi... Apa, ya??
Kuputuskan untuk menyudahi
mengingat-ingat mimpi. Mimpi itu kejam. Ia datang bawa pesan yang sulit
diterjemahkan. Pesanmu, wajahmu, gerak-gerikmu. Isyarat-isyarat darimu lebih
jelas.
Tentu aku ingat waktu kau menatapku di bioskop, yang remang
dan hingar. " Sayang.." Katamu. Setelah kata sayang, sudah pasti ciuman
yang sangar-sangar. Isyaratnya jelas. Atau ini, waktu kaubilang takkan
macam-macam. "Aku tidak bisa mencintai orang lain, yang.. "
Dari kata-katamu, isyaratnya jelas. Tak bisa mencintai orang
lain jelas artinya bisa mencintai orang lain. Haha
Aaaaaah.. Pikiran ini terlampau
cepat. Tulisanku sampai tak sanggup mengikuti. Sialan.
Di parangtritis, di pantai-pantai
selatan Jogja. Wajahmu selalu jadi pasir yang ditulis-tulis, atau ikan yang
lamis amis. Haha
Sebab sungguh, tiap-tiap aku kesana selalu saja kehilangan
layangan yang senantiasa kumainkan sampai senja datang, turun, dan mendengung.
Sudah berkali-kali kukatakan bahwa
kehilangan itu wajar. KEHILANGAN ITU WAJAR ! Sampai detik ini, aku tetap gagal
paham kenapa gerimis jarang datang di kota ini, tulisanku jadi kurang ngepop.
It does make sense. Sekarang tulisanku ngepop.
Pop-pop-pop. Budaya ini menjamur di
mana-mana, sayang. Termasuk di nadiku, di darahku yang mengalir di urat-urat
kecil. " Semua yang pop tidak jelek-jelek kok. " Tentu Bu Guru, aku
ingat kata-katamu itu.
Racauanku makin tak jelas pagi ini,
tulisanku makin kabur dibawa pikiran yang pergi lari-lari kejauhan. Dari bicara
gerimis, mimpi, kamu, kamu lagi. Manusia selalu gitu, ya.
Sampai kalimat ini, hujan sudah
berhenti turun. Gerimis tinggal sisa harumnya saja. Berapa orang di dunia ini
suka bau hujan? Banyak ! Hampir setiap orang yang kutemui. Sebab sungguh,
ketika mereka mendekam sendiri di tanah kuburan. Selain bunga-bunga kamboja dan
doa-doa yang jarang, sahabat mereka hanyalah air hujan.
Wasalam, Sayang.
Brookline
280912
Ilustrasi oleh: Dionysius Labdo Grahito Hatmaji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar