Tridadi dan Hal-Hal yang Tak Selesai
: ( dari A sampai Z, dari Siswanto sampai Serge, Dari Bagong
sampai Kahudi )
" Adapun dipercayakan sebagai
kepten kesebelasan, pemain hitam legam asal Brasil.. Siapa diaaaa???"
Pada satu bunga rampai, GM menganggap bahwa bincangan
tentang Tuhan seakan tak akan berpenghujung. Dalam satu kesempatan, seorang
kawan bilang begini, " ternyata banyak juga ya, yang baca cerita di blogmu
tentang PSS? kenapa tak kaubikin terus?"
Mirip seperti di buku itu, kurasa membicarakan PSS juga tak akan ada
habis. Aku takut dua tanda tanya itu dijawab tanpa titik. Sebab bagiku PSS
adalah mata air. Ia juga adalah ziarah panjang bagi mereka yang mengikuti.
Tridadi adalah bagian dari tirakat itu. Banyak yang bisa
diingat-ingat dari Tridadi, stadion di Sleman sebelah utara sana. Kalau dari kota naik bis, kau bisa
menempuhnya dengan bis Jogja- Tempel. Ada waktu dan jarak yang mesti kautempuh
dengan tak sembarangan. Kalau kau nyegat bis dari Godean, kau mungkin bakal mengeluh
pada seberapa lama bis mini itu berhenti di Pingit, belum kau perlu menunggu
bis itu ngetem lama lagi di Jombor, meski tetap dengan penumpang yang itu-itu
juga. Meski dengan dia lagi dia lagi. Dan sampai di Denggung, kau mesti jalan
lumayan masuk ke arah barat. Sampai di Tridadi, dulu, selain matchday kau tak akan menemui siapapun kecuali Mbah Dirun putri yang kondang bukan main itu. Ia menjadi figur legendaris bukan karena extra jos dan tahu gorengnya saja, tapi juga baktinya yang mutlak. Doa-doa-terbaik untuk beliau.
Aku masih terlalu kecil untuk merekam Tridadi dalam catatan
yang rapi dan baik untuk sekadar kembali menceritakannya padamu. Tridadi begitu
besar dan luas untuk aku yang kecil. Dalam ingatanku, ia selalu penuh maki
orang yang berdiri memanyunkan muka di sela-sela besi pembatas lapangan dan
tribun. Di sana kau bisa nemu cacian-cacian dan bau alkohol murah sekaligus, atau
pasangan-pasangan muda yang merasa pacaran terbaik adalah menonton Liga Indonesia.
Aku sendiri suka menghafal nama-nama. Sebab nama adalah
doa orang tua, setiap orang tua pemain bola kubayangkan mendoakan anaknya jadi
anak yang baik bagi orang lain. Di Tridadi, atas nama kebahagiaan warga Sleman,
doa-doa mereka telah paripurna. M. Eksan dan Seto Nurdiantoro. Denilson dan
Francis wollo. Joice Sorongan dan Didik Tri Yulianto. Nugroho atau Tanasit Tong
In. Rudi Widodo atau Musafri. Pengkhianat atau Kahudi. Mereka adalah nama-nama
pemain yang setia mengisi ingatan orang-orang pada Tridadi.
Di Tridadi rumput terawat dengan organik, pada satu tempo latihan
SSB di sana, lapangan masih belum siap karena kambing-kambing ( mungkin milik mbah Dirun kakung, doa-doa terbaik juga untuk beliau) belum selesai
makan rumput. Kambing-kambing itu dulu sering jadi olok-olok Denilson. Suatu kali ia datang latihan terlalu mruput, ia bercanda dengan berlagak mau
menendang bola ke arah kambing-kambing di situ. Denilson Goncalves. Dua yang
kuingat dari Denilson; kupingnya yang cacat dan rindunya yang tulus. Ia sempat
mandul dan selalu jadi bincangan orang-orang pas turun minum. Keabsenannya
bikin gol bertahan lama. Namun begitu pecah telur, ia langsung menangis dan
mempersembahkan golnya untuk Hector, anaknya yang jauh di nun. Tentang Hector,
ada kerinduan yang tampak pada paras Denilson yang kotak, tegas, dan mirip
gladiator itu. Denilson begitu kebapakan di Tridadi sore itu, yang awannya magenta
dan banyak belibis dan sesekali pesawat lewat.
Siswanto
kemudian Serge.
Pada suatu sore di Tridadi, melawan Persekabpas adalah misi
gampang. PSS sudah menang besar, sebelum gelandang Persekabpas masuk. Kelak ia memperkuat klub-klub kenamaan tanah air. Adalah Siswanto,
nama yang terus melekat pada siapa saja yang datang sore itu, kecepatannya
bikin yang lihat dari dekat lapangan ketar ketir. "Woi woi woi ! pangan
Gong !" itu yang kuingat dari orang-orang yang cemas tapi sok garang ketika
Siswanto dapat terobosan dari Zah Rahan. Siswanto adalah penyihir yang mahir.
Serge hampir sama, bersama Arema ia adalah mimpi buruk. Bedanya, ketika Serge
mencetak dwigol di Tridadi, banyak orang sudah tak peduli. Toh, bila PSS lolos
lawan Arema, itu tak membuat nasib tim murah kami yang sedang kelaparan jadi
kenyang.
Tentang Bagong dan Wahyu Teguh, dan Kahudi Setelahnya.
Bagong adalah sayap yang dinamis. Ia adalah si tiba-tiba bagi skor yang masih kosong-kosong. Pada satu hari yang cerah,
tendangan bebas Bagong ke gawang Persija bisa sangat mbebayani, pintar, dan terukur. Pada sore lelah yang lain, PSS selalu
dirundung seri di Tridadi, tak ada poin tiga dan segala hal nampak salah. Permainan yang remis selalu njelehi. Kapten
Bagonglah yang dimaki, di dekat tribun VIP sekaligus dekat pintu keluar, Bagong
menendang teralis besi dan balas memaki seorang fan yang menganggapnya
bermain seperti penari. Beberapa orang menenangkan amarah Bagong, beberapa
menenangkan si fan yang geram.
Tridadi menyaksikan itu. Tridadi, tiga poin jadilah. Ia
adalah saksi bagaimana Wahyu Teguh mondar mandir di tengah lapangan,
menghindari tekel bek lawan, dan melancarkan voli yang bikin decak kagum siapapun
yang nonton. Lepas pertandingan itu, aku memburu tanda tangan Wahyu Teguh. Di
sana juga aku sangat ingin jadi pemain sepakbola, sebab Kahudi Wahyu selepas
pertandingan selalu disambangi kawan perempuannya sampai ke mess di dekat
telaga situ. Aku selalu terpikat pada romantisme remeh model demikian.
Aiiih.. di sepakbola, adakah yang lebih manis selain
hubungan stadion dan klubnya? di mana saja sama. Kridosono di kota, Sriwedari di Sala, Lebak Bulus di Jakarta juga
sama. Tridadi adalah rumah bagi Kahudi, rumah yang akhirnya jadi barang asing baginya. Begitu pura-puranya
pula kami, ketika PSIS datang kami menyanyikan lagu sarkastik pada Kahudi,
" Sekarang PSS sudah kaya, di Semarang kamu dapat apa?" Kekesalan
pada Kahudi membuat kami merasa punya. Dan di situlah, 90 menit berpotensi jadi
riset longitudinal yang tak akan pernah sempurna. Kahudi memang
pindah ketika suporter justru sedang puncak menyukai gaya mainnya.
Tridadi adalah sahabat siang yang panas ngentang-ngentang. Tridadi
adalah discontinuity, ketaksambungan
dari banyak hal. Dari era APBD ke tanpa APBD, dari Jalan Magelang ke Ring Road
Maguwo, dari siang di hari minggu ke lagu Koes Plus tentang malam di telaga
sunyi, dari stadion yang riuh ke lagu Koes Plus “Hidup yang Sepi.”
Begitulah Tridadi. Tiga poin jadilah !
Brookline, Maret 2014