Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Sabtu, 28 Desember 2013

Orbituari: Kang Maryono

Orbituari: Kang Maryono


Barangkali, inilah yang dinamakan keyakinan: mengubah gaya hidup dan mempercayai satu hal sebagai satu tongkat penuntun yang baru. Begitulah kira-kira sikap Maryono yang mengundang takzim bagiku pada hari ini. Maryono, seperti kebanyakan orang, merupakan pribadi yang gersang di mataku. Aku tak begitu kenal, kecuali dari sekelebat lakunya sepanjang delapan tahun terakhir di hidupnya. Namun bukankah simpati, apalagi pada kehilangan, boleh datang dari siapa saja? Aku masih kelas 2 SMP ketika Maryono memutuskan untuk bergereja di gereja kami yang mungil. Aku kecil baru saja mendapat motor Astrea Grand lungsuran dari kakak sepupu yang baru lulus sekolah menengah. Layaknya anak seumuran lain yang sedang gemar-gemarnya naik motor, aku kecil tak kurang ide untuk mengakali keterbatasan. Motor lungsuran itu langsung dimodif seadanya. Jangan bayangkan knalpot Yoshimura, velg racing, atau hal-hal mahal semacamnya. Aku kecil memutuskan membeli cat kayu seharga tiga ribu rupiah untuk melumuri banyak bagian motor dengan ornamen sesuka hati.

Maryono, seorang simpatisan gereja yang waktu itu sangat kerap berkunjung ke rumah, yang menawarkan bantuannya padaku utk menceperkan motor dan mencangkok slebor depan Astrea Grand dengan slebor Supra X, harapannya supaya motor jadul itu tak kelihatan ketinggalan zaman amat. Aku membeli slebor supra di Klitikan jalan Mangkubumi, yang kini sudah dipindah ke Kuncen, dengan harga lima puluh ribu rupiah. Waktu menunjuk kira-kira jam tujuh malam, Maryono mulai dengan gegas sekaligus ringkas membantuku melakukan make over motor dengan cara seadanya. “Untung ada Kang Maryono,” pikirku dalam hati. Tanpa ia, tentu niatku mengubah motor grand menjadi semi modern itu tak akan sampai.

Selain ingatan tentang itu, tak ada yang benar-benar personal. Ada jarak di antara kami, seperti aku mencipta jarak pada orang-orang banyak yang tak begitu kukenal. Ada kemungkinan lowong yang tak kami pelajari sebagai manusia yang bisa berteman dekat. Aku, meskipun blangsat dan urakan, selalu percaya bahwa lewat bergereja aku bisa menemu Tuhan. Di sanalah aku tak hanya menemu Tuhan, tapi bertemu Maryono juga, aku lazim memanggilnya “Kang Maryono.” Seorang sederhana yang sangat rajin ke gereja, hampir tak pernah melewatkan misa panjang di gereja kami yang mungil. Gereja kami di pusat kota Yogyakarta, sedangkan rumahnya di pelosok Magelang, tepatnya di Grabag. Tampak di mataku bahwa jarak adalah perkara hati baginya, bukan panjang ruang atau ukuran seberapa jauh. Aku banyak berhutang rasa padanya soal ini, sebab aku kerap menganggap jarak sebagai sesuatu yang sangat sakral, sesuatu yang paling penting untuk disiasati dalam hubungan antar manungsa.

Sekali ia menceritakan pengalaman spiritualnya, bahwa ia merasa damai tiap kali berdoa, dan inilah yang membuatnya sangat lekat dengan hal-hal gereja. Ia tak jarang membawa lima putrinya yang cantik semuanya ke gereja, meski dalam pelbagai keterbatasan. Mungkin inilah yang dinamakan orbituari. Kumpulan akan ingatan baik, tak ada keburukan dan seakan-akan dalam orbituari itu orang jadi paling sempurna dan lengkap. Bukankah benar, puzzle bisa dilihat jelas ketika sudah terangkai? Aku percaya bahwa simpati pada kesedihan boleh datang dari siapa saja. Termasuk aku, orang yang bukan siapa-siapa tapi merasa kehilangan. Begitu mendengar kabar berpulangnya Kang Maryono, aku langsung memutuskan menulis, menangkap apa-apa saja yang pernah ada dalam ingatanku yang seadanya. Untuk siapapun yang membaca, kuanggap kalian juga ikut mendoakannya. Sebab tulisan, betapapun jeleknya, adalah doa juga.

Terima kasih untuk bantuannya pada motorku yang lawas itu, kang. Kuantar kepergianmu dengan tulisan, sebagaimana orang Yunani berkata pada kematian dengan lugas sekaligus halus, “Eonia i Mnimi.” kekallah kenanganmu.

Sabtu, 21 Desember 2013

Hidup dan Politik yang Sengau

Hidup dan Politik yang Sengau
: Camellus Julio, Pradipta Eka

bila kita tak tahu soal politik
biarlah kita tahu soal diri kita masing-masing
bila kita tak tahu arah angin
biarlah kita tebak hujan mana yang sanggup meruntuhkan iman kita,
yang kecil, yang muram,
yang kikuk di depan satu kata ini: khianat

kelak diri kitalah yang tahu juga
bahwa waktu itu nisbi
hidup ini titik, dan titik itu ialah sekarang.
keniscayaan yang terperam di malam paling sunyi.
adapun hari lalu dan besok juga di titik itu
dan kita kawan untuk
perjalanan-perjalanan dalam ingatan yang cuma-cuma

pss sleman.
indonesia.
sepakbola.
lengking riak dalam suara kita
kemenangan di tangis kita.

sumpah serapah itu
juga cuma-cuma

Brookline,
122013

Satu Kali di Hidup Kita

Satu Kali di Hidup Kita
: Ragil Wibawanto

bukankah pikiran kita lebih
baik menguap?
sebab telah banyak
kesedihan dan pertentangan
di antara tembikar dan tukang periuk,
di antara tuah kayu salib yang kauyakini benar.
sebab juga kebencian sering tak tuntas disikat
tajam tatap para pacar di mata mereka yang
netes diam-diam

masa lalu itu, gil
adalah bincang di lorong
kelas kita yang panjang.

bukankah kenangan kita lebih baik menguap?
sebab cuma induk ayam yang memeram penyesalan selama dua puluh hari.
selebihnya diri kita yang sering kikuk pada jarak, jenjang kaki cinta-cinta baru

dan satu kali di hidup kita,
marah-marah itu benar ada.

Brookline,
122013

Senin, 09 Desember 2013

Jalan Godean Itu


Jalan Godean Itu

: Aria Duta


di sekitaran situ
macet pagi adalah wajar pupur
paras bocah-bocah sekolah,
mereka itu menyimpan mimpi semalam
untuk cerita di kelas matematika yang sumpek.
seperti motor bebek kita, adalah
sampan untuk cerita via, tia, di hidup kita yang kanak-kanak
bagaimana cinta itu gegar ombak, amuk angin, yang 
boleh datang dari arah mana saja
dan kita mesti menyerah pada
kebohongan. pada kecap orang ramai


cuma butuh lima menitan
untuk tahu ringroad sebelum pingit
untuk tahu kerinduan sebelum mantan kawin.
kelak itu akan jadi hal paling brengsek


di mirota kita tahu, dulu, tak ada lampu merah
menyeberang situ cuma perlu kematangan
menghormati khalayak- pejalan
yang menyita umur mereka
saban pagi 
di situ-situ saja


jalan godean, dut
adalah kenangan kita untuk
Yogya kuna
yang magis manis 
dan menyenangkan


Brookline 
122013

Selasa, 03 Desember 2013

Sajak Kangen ( Koyone Kangen Tenan )

Sajak Kangen ( Koyone Kangen Tenan )

kota ini berjarak seribu kilo dari matamu
tapi tak secenti pun pernah kautempuh aku
dari angan-anganmu
barang semalam

di sini ada pikiran yang koyak tentangmu, gedung-gedung tinggi, senyum orang mandi
dan bintang jatuh kunikmati sendiri di taman kosong

waktu mengayak kenangan orang baik
di tampah tua milik
ibu di kota lama

juga cinta, ia memberiku satu periuk nasi, tiga tahu susur, dan lima lombok rawit.

biarkan aku simpan kangen
dusta dan mimpi-mimpi di bawah bantal
biar kubawa dalam tidur
dan ciuman kepadamu di mimpi menjelang subuh

Brookline
0412013