Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Selasa, 30 April 2013

Satu Doa Bagimu

Satu Doa Bagimu

: Wiji Thukul


“ Jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus berhati-hati
barangkali mereka putus asa “
katamu satu waktu.


Aku curiga juga,
“ Jika banyak orang
mengenang syair dan kepergianmu
 yang kapan entah itu,
kita harus sadar
barangkali mereka menaruh harap
bahwa kau masih menulis sajak. “


Beberapa hal di bumi ini
Boleh kekal
Sebagaimana namamu, Wiji


Salah satunya ialah Hujan
Lewat deras dan koor-koor air di setapak jalan
Ia menancapkan sekaligus:
Harapan dan mata-mata kata yang sunyata


Sebagaimana engkau,
Lewat riak-riak dan syair-syair rentak
Jutaan manusia
Terus mengenangmu sebagai


Hujan
Harum
Dan puisi
Sepanjang hari.


2013



Sabtu, 20 April 2013

Di Kotagede

Di Kotagede


Bila aku merindukan tempat
Saat ini,
Pastilah itu Kotagede


Aku dan kekasih
Sekali beli perak
Untuk disembunyikan
Sepandai kami
Melupakan ciuman


Di Kotagede
Kami sama-sama
Membiarkan cemburu
Gantung di
Hati paling
Tinggi


Aku dan kekasihku.
Kami pandai sekali lena
lelap pada apa saja


Kami bersembunyi di balik waktu
Menyembunyikan sungging-sungging senyum
Dan tangis yang setia serta pada
Tiap siang-siang kami


Dari Kricak ke Kotagede
membangun gereja dan bait-bait puisi
Atau bangku-bangku sekolah dasar
-- ialah cincin kawin tapi bukan


Kami memang pandai
Cepat-cepat menangkap waktu
Sebelum mereka berlalu
Dan kami tetap tinggal
Tak terisap. Terisap seperti
Batu di lumpur hidup


Dari Jakarta ke Tokyo
Dari Tokyo ke Minnesota
Dari Minnesota aku makin lupa
Wajahku tinggal di kaca-kaca bandara
Tapi tangis tetap becek di
Lantai-lantai Soekarno- Hatta


Kotagede tentu adalah
Miniatur dari cinta.
Cinta dan rasa lupa itu sendiri.
Dan semua yang palsu.
Kami mematri semua yang asli
Pada jari-jari nakal kami
Membubuhkan syair-syair
sebelum menamatkannya dalam ciuman.


2012

Sabtu, 13 April 2013

Di Gowongan Kidul


Di Gowongan Kidul


Kawan, kepada siapa
Kita mesti menyerahkan harapan?
Pada diri kita atau bunga-bunga kembang?
Kawan, kepada siapa kita mesti pulang?
Pada bincang-bincang atau
Titik-titik jauh. Atau bintang di laut sebrang?


Kepulangan adalah mantra
Bagi kita yang lama menunggu.
Menanti waktu untuk diputar,
Diulang,
Diketawai sampai haru.
Kepada jalan-jalan layang
Kita menggantungkan mimpi-mimpi sampai pagi


Di rumahmu kelak, kawan
Akan kita suguh gorengan-gorengan
Singkong, tahu susur, tempe-tempe,
Lengkap dengan Lombok ijo yang
Kautangisi kemarin sore


Kawan, di relung lorong-lorong gang
Di setiap jejak tangan
Di dinding-dinding putih tangga sebelah
Kita tak akan pernah lagi nemu
Ciuman muda-mudi waktu datang malam
Atau gerak-gerik anjing kampung
Yang awas matanya
Curiga pada Sigit, pada oncor,
pada Tuhan, dan rindu-rindu rawan


Tunggu aku, lalu
Kita jamuan !


300313

Jumat, 05 April 2013

Kricak dan Padang Bulan

Kricak dan Padang Bulan


Mari sekali lagi bicara masa kecil..


Di pelataran aku sering kumpulkan bebatuan
Putih-putih banyak- maklum, mahalnya minta ampun
Bukan kami kaya atau apa
Tapi dulu beli rumah sudah lengkap dengan
Hiasan taman


Di padang bulan,
Bapak matikan lampu-lampu serumah
Dalam pikiranku yang kecil, ada rasa tak aman
Seberani apa aku selalu risau dengan gelap
Mungkin itu cara keluarga kami, atau aku sendiri
Menikmati kecemasan


Di Sekolah Dasar aku pukul teman sekali,
Besoknya guru panggil dan bilang jangan lagi.
Di waktu yang lain aku tertakuti, pada macam-macam
Tapi keberanian dan ketakutan
Ternyata kadangkala saja datang
Selebihnya aku pengecut.
Aku sering tak nyaman jalan sendiri


Di padang bulan,
anak-anak kampung nyanyi di teras rumah
mendaras doa untuk tongkeret dan gareng pung
kebiasaan ini kian urung, kian kurang, akhirnya hilang.
Sejak era telepon genggam,
Adik-adik dan teman-teman kampungnya
Asik dengan cara mereka berbagi kesepian


Kricak tak banyak bicara
Lebih sering bisu dalam banyak hal
Tapi dikenal- sering- sebab
Pemukiman di tubir-tubir kali nanga.


Di situlah sisi hidup yang lain.
Sisi lain yang mengajak kami tumbuh.
Keluarga-keluarga transgender
Dan cara mereka bertahan
Dari segala banjir


" Tuhan, senantiasalah bersama mereka.."


Bambu-bambu itu tak pernah kulupa
Di siang hari suara bambu dan radio RRI
Adalah penambah selera makan


Kricak adalah cara kami membagi haru pada masa lalu
-- Yogi dan Adri, sudah kenyang pada
Kata-kataku yang pedas, tentu..
Meski sebenarnya kami sama-sama miskin, dulu..


Aku jadi ingat waktu sebelum pindah
Bapak- ibu- denis paham benar,
Rasanya menumpang.
Di rumah Nogotirto yang besar kami kebagian sekamar
Dalam pengertian yang manapun
Rumah sendiri adalah cara paling sederhana
Berbagi cinta. Sungguh.


Di padang bulan,
Kami menikmati redup, gelap,
Sekaligus mensyukuri
Temaram lilin-lilin kecil.
Sebagai orang tak punya kami merasa kaya
Sebab waktu berkumpul kami punya segalanya


Di kamar dan jendela kecil
Aku mafhum
Dengan keadaan-keadaan serba kurang.
Sebab di keadaan-keadaan serba terang
Segalanya tampak
: termasuk kesedihan


" Berbahagialah orang yang tak melihat namun percaya…"


Di padang bulan,
Cuma bulan yang putih itu
Jadi lampu bagi kampung-kampung tua,
bagi wajah konblok-konblok baru


Di kampung yang menuju modern
Konblok dipasang ialah
Nilai lama yang dipasung.
Sampai mati.


Nilai itu jalan bersama waktu
Dan melambai pada kita di belakang
Kita jauh ditinggal
Sebab begitu kita nikmati waktu
Masa lalu yang indah-indah itu
Takkan tertulis di kertas-kertas baru
Dan kita kian tua
Untuk menulis segala ihwal
Peristiwa-peristiwa lama


Satu sore kugeber mesin dari arah bener nuju pulang
Pelan sepelan beca’
Menjelang padang bulan,
Sawah cuma bau padi kering
Dan angin campur sisa makanan sapi
Sedang sejauh pandang
Tak lagi kunemu Jogja-Jogja dari kejauhan


Waktu masih kanak
Dengan jelas Plaza Borobudur itu
Dari sawah sebelah kami langganan susu
Sebagaimana ilalang yang mulai tumbuh
Di sawah mati, jadi ladang, jadi kebun,
Pohon-pohon kian rimbun
Selain tak terurus,
Rumah-rumah orang terus dibuat setinggi-tingginya


Tak lagi bisa adik-adik
Melihat gedung tinggi
Cukup dengan telanjang mata.
Pada kenyataannya,
Kian kesini kita makin
Tak bisa melihat kejujuran.
Sedikit demi banyak
Bila tak dengan mata telanjang
Hati telanjangpun sulit membedakan
Mana baik dan mana mesti diturut.


Pilihan menyisakan
Konsekuensi yang
Semuanya buram.
Sedang kita sendiri
Tak lagi yakin pada cara kita
Memilih.


Hidup memerlukan potret dan pemotret kenangan-kenangan
Yang tertinggal dan disapu waktu
Di sudut-sudut jalan.
Sebagaimana aku kini,
Kembali lagi ke masa dulu.
Mengabadikannya di noktah-noktah
Yang memaksamu terus mengikutinya...


2013


Ilustrasi Oleh: Arda Awigarda