Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Jumat, 29 Maret 2013

Salutasi Untuk Dua Dekade Silam

Salutasi Untuk Dua Dekade Silam


Tahun ini, Maret menyapaku seperti perempuan cantik kesepian, yang butuh teman. Teman untuk sekedar ngobrol ke utara ke selatan, ngobrol apa saja. Bunga-bunga di taman depan jalan memang belum mekar, hujan dan gerimis baru sesekali datang samar-samar. Tapi satu yang kuamati betul: dari awal Maret ini, ada bau yang terus datang namun sulit dijelaskan.


Beberapa kali kucoba tangkap, kuhirup dalam dan kunikmati, aku selalu membayangkan masa kecil. Kecil yang sekolah menengah, sampai kecil yang umur lima, sampai kecil yang umur dua-tiga. Bau itu cukup membantuku ingat kenangan-kenangan kecil, mirip buka album foto.


“Ibu masak apa? Pasti sop, ya?”
Di umur-umur dua-tiga aku menemani ibu masak di dapur, sambil memutar-mutarkan mobil-mobilan. Sesekali kutanya ibu, dan kujawab sendiri pertanyaanku. Anak kecil.


Hirupan sesekali itu tak berhenti. Bau itu mirip kertas yang memaksaku terus menulis puisi, tentu tanpa paksaan yang harfiah. Hari lainnya datang, bau itu kadang datang lagi dan tak kuhiraukan benar.Ia kadang mirip perempuan kesepian, perempuan cantik nan memikat, atau anak kecil yang mengajak main di waktu sibuk. Dalam kesempatan lain, bau ini menuntunku juga ke travel-travel Cilacap-Jogja, Solo-Jogja, atau bincangan-bincangan dalam bis. Segarnya..


Hari-hari ini aku banyak menghayati perjalanan dan tempatku berpijak, lengkap dengan obrolan sederhana sampai rumit yang apabila tak dipikir sederhana juga. Aku jadi ingat kawan-kawan di rumah jauh. Kami selalu ada di antara menyederhanakan masalah dan memasalahkan yang sederhana. Mirip sekali dengan cara Bu Sri, guruku SD, pertama kali mengenalkan padaku matematika: satu tambah satu, satu tambah dua, satu tambah tiga, dan seterusnya.


“Kalau ada kali, kalinya dikerjakan dulu..”
Pak Barjo, mentor matematika kelas empat SD mulai mengajarkanku hal-hal perkalian dan pembagian. Satu langkah lebih rumit dari tambah-tambahan. Di titik ini aku mulai paham dan sesekali tersenyum. Aku ternyata merindukan cara kami, aku dan kawan-kawan, mencari kebahagiaan.


Hidup, betapapun tak lepas dari perjalanan, perjalanan yang kadang tak hendak kita resapi, tapi hendak kita nikmati. Menikmati tentu yang nikmat-nikmat. Sedangkan yang getir kita kecap sekali dan sudah itu pergi. Idealnya begitu, tapi hidup kadang tak ideal. Tak ideal dari banyak sisi, dari banyak kotak yang seringkali tak pas ukurannya. Masalah yang kita singkiri, sebagaimana kita berjalan, seringkali kita bawa sebagai beban. Kita menuntut keadilan yang tak kunjung datang, sedang kita lelah pada ratan yang begitu panjang.


Dalam perjalanan hidup, kita sebenarnya tanpa kawan. Kawan boleh kita ibaratkan tongkat penyangga berat ataupun air dalam kemasan, kemasan apa saja. Dalam perjalanan kita nemu banyak sumber mata air, sebanyak kita mengurai air mata- namun tak banyak kita nemu kawan. Selebihnya hidup ialah antara diri kita dan jalan itu sendiri. Kadang kita mampir di kota-kota sepi yang penuh dengan kerlip lampu-lampu yang tak pernah mati. Sebagaimana di keramaian kita gemar merayakan kekosongan.


Bau yang belum sempat kujelaskan ini satu kali mampir dan membawaku ke konser-konser pentas seni sekolahan. Aku membadut dan bicara apa saja di bawah lampu warna-warni. Bicara yang tak ada alasannya tentu tak sederhana, namun melihat orang-orang tertawa jadi keadilan tersendiri untuk itu. Adil, bagaimanapun tak bisa diukur.


Meski bau harum ini perlahan mulai akrab dan akhirnya kunamai: Jelita, aku tetap waspada. Awas pada kenangan yang berlebih. Sebab kenangan sama kejamnya dan tulusnya seperti rampok. Ia kerap membawa apa saja dari hati ini. Kenangan kadang nikmat dan begitu sederhana, tapi beberapa memunculkan kesombongan, persis bila kita pandai. Jadi pandai mesti tepat, yang berlebih selalu merendahkan yang lain.


Dalam falsafah Cina, sifat hidup digambarkan mirip ular, babi, dan elang. Ular ialah kelicikan- geliatnya cepat dan licin, babi sebagai kemakmuran, dan elang  merupakan simbol kebanggaan- sesuatu yang tak membumi. Yang kita cari dan sulit bisa kita elak. Aku jadi ingat, di SMAku yang mengajarkan kebebasan dulu, hampir setiap hari ada saja yang mengiklankan kaos lengkap dengan nama dan macam-macam soal sekolahan. Machiavelli satu kali menggambarkan kebebasan seperti singa yang lama dalam kurungan, menahun. Begitu kurungan dibuka, ada dua kemungkinan: pergi bebas dan jadi buas, atau tetap dalam kandang sebab nyamannya. Ritual membeli kaos dengan serba-serbi tentang sekolah di sekolah beritme bebas sejelasnya merupakan salah satu pengejawantahan dari kebanggaan yang berlebih. Seperti singa di kandang tadi, kita suka terjebak pada ke-tak-berubahan.


Kebebasan tak ada yang absolut, mirip dengan kebenaran. Kebenaran suka membagi dirinya ke orang banyak di banyak sudut pandang. Di antara kita dan perjalanan ada jalan, pembatas jalan, dan lanskap-lanskap macam pegunungan, sungai, atau jurang. Batasan mengartikan adanya akhir, sedang kebebasan acapkali meminta alpanya batas-batas di kiri kanan. Bila tak hati-hati kita menembus batas, kita bisa hilang entah ke mana. Dalam tataran tertentu menekan ambisi dan kesombongan kepentingannya mutlak.


Hari-hari berlalu dari pikiran rumit ke yang sederhana, kembali dari yang sederhana ke yang lebih terurai panjang. Jelita, temanku, bau yang suka datang itu barangkali tak sungguh-sungguh mau bicara soal masa lalu atau menggodaku dengan kenangan-kenangan manis. Tapi menunjukkan padaku bahwa aku mesti pandai bersyukur dan sesekali tersenyum simpul akan hal-hal yang tak bisa diulang persis sama.


Di Tanzania, orang-orang suku Masai tak pernah bicara waktu-waktu besok. Mereka tak punya bentuk kalimat masa depan dalam khasanah bahasa mereka. Besok, lusa, setahun lagi, ialah hari ini itu sendiri. Bagi mereka masa depan begitu samar dan tak lebih misteri dari sekarang: hari ini, jam ini, menit ini. Di abad dua puluh satu, mereka masih setia pada abad-abad lampau. Ketika jarak mesti mereka tempuh secara sukarela, dan tak mengada-ada. Sedang aku sendiri, di umur yang menginjak angka dua satu, rasanya mesti banyak belajar soal penerimaan macam begitu.


Aku menerka-nerka sesekali: lantas kemarin, apa juga hari ini yang sudah pasti, yang telanjang bulat dan menari-nari? Sedang terhadap yang telanjang itu, kita tak serta merta terangsang. Manusia selalu tertarik pada hal yang transenden sekaligus yang imanen. Yang jauh sekaligus yang dekat. Mirip Tuhan, sebelum kita tanyai dan setelahnya tetap bisu. Kejelasan, seringkali kita rengek-rengek. Tapi ia tak habis direngek-rengek. Bintang-bintang yang jauh dan rambut yang dekat jadi sama menjengkelkannya. Mereka sama-sama bungkam, mengelak ditanya jumlah. Kita yang kerap menjebak diri di angka-angka tak lekas sadar kalau dalam banyak peristiwa mawas diri begitu penting.


Betapa cepat waktu berlalu, Jelita tetap setia, masih setia. Kemarin sore ibu masih mengandung aku, belum buru-buru pergi ke Rumah Sakit Kasih Ibu di Karanganyar. Kemarinnya, aku baru tamat SD dan menyapa penjaja kue lopis di depan sekolah, kini penjaja itu tiada, menyerah pada umurnya. Kemarinnya lagi, aku masih menemani kekasih lamaku membeli majalah tentang tata estetik rumah yang baik, ia memang menyukai segala hal soal dekorasi rumah. Kemarinnya lagi-lagi, aku menahan haru melihat bapak berdiri mengantarku di depan pintu keberangkatan di Cengkareng. Kemarinnya lagi-lagi-lagi aku bercermin dan mengetawai uban yang kian membuatku tampak dewasa, meski baru lahir kemarin sore.


Di bulan Maret yang penuh berkat, bagiku, sedikit banyak kusyukuri apa-apa yang selama ini sudah kudapat dengan mudah maupun susah payah. Dua tahun lalu di tanggal yang sama kukatakan: hari ini tanggal tiga puluh bulan Maret, mestinya bukan lagi mimpi-mimpi, tapi mimpi-mimpi yang sengaja dijadikan hidup. Yang hari ini dua tahun lalu sudah jadi kemarin sore hari ini. Kuucapkan syukur untuk hari ini yang akan jadi kemarin bagi besok itu, dan tentu kepada jelita juga.


Kepadaku, kuucapkan selamat ulang tahun keduapuluh satu.
Dua dekade kemarin mesti disyukuri satu-satu.
Tahun demi tahun, hari demi hari, jam demi jam. Demi waktu dan rindu-rindu panjang.
Pergilah minum beer sepuasmu, malam ini: sebab umurmu sudah ganjil dua satu !


Massachusetts, 30 Maret 2013





Sabtu, 23 Maret 2013

Selokan Mataram


Selokan Mataram


Sayang,

Di bibir-bibir selokan
Batu-batu kali dan
Daun-daun rinjang
Gugur-gugur kembang

Kita tak pernah lebih sedih
Dari kemarin dan besok itu
Hari ini tentu Cuma katalis
Dari kemarin dan harapan
Yang pudar besok kapan

Lewat banyu coklat
Dan kapal-kapalan kertas
Mataram adalah selokan
Yang muaranya gorong-gorong
Panjang

Bila besok itu kita tahu ceritanya,
Tentu ciumanmu tadi jadi hambar,
Sayang..


2013

Sabtu, 09 Maret 2013

Progo


Progo


Tiap jelang malam
Jam lima tepat
Kereta Progo dan
gerbong-gerbong rindunya
Siap menghantar kepergian siapapun ke Jakarta


Bagi yang miskin dan kurang uang
Kepergian selalu berarti lebih.
Bukan sebab perpisahan yang terus menerus meminta air mata,
Tapi sebab perjuangan selalu erat dengan pergi jauh dan keringat lebat


Seperti Jakarta, sayang. Jam lima menyimpan sepi yang dalam, bagi sanak-sanak perantau malam
Mereka gamang menanti jam paling khusyuk sepanjang hari- maghrib itu sendiri
Sebagian dari mereka
Berjuang juga bagi cinta dan jarak,
Menyebrang jembatan rindu yang panjang
Sebagian juga
Menyiapkan sekarton oleh-oleh remah nan gemah
bagi istri dan anak,
Demi bubur dan beras merah


Dengar-dengar Jakarta ialah kota bukan sulap bukan sihir,
Suka mengubah keringat jadi emas
Mengarak harapan jadi suatu realitas
Ego, esi, avtos, avti. Aku, kau, dia, dan siapapun
Mesti sesekali bersama mereka
Ke Jakarta dengan kereta Progo
Melafal doa, mendoakan senja yang segera hilang, dan nasib yang tak lepas malang
Stasiun demi stasiun
Sampai kembali ke tanah lagi.


2013


Foto karya: Agustinus Shindu Alpito 



Minggu, 03 Maret 2013

Selamat Ulang Tahun


Selamat Ulang Tahun

: Bapak-Ibu

Jemuran ibu susah kering di penghujan
Macam-macam: ada kaos helo kiti, kaos bapak, pun cawat anak-anak
Sedang di musim kemarau
Segala macam kerjaan tumplek blek
Selain Tuhan.
Dari mana kami bayar utangan. Ya, kan?
Haha

Ibu suka nyiram kelengkeng pingpong
Yang sering ditabrak motor, sepeda, dan bal plastik
Maklum tiap sore pohonnya jadi gawang
Sedang buahnya tak pernah kami makan.
Tak pernah.

Ibu tambah tua, bapak juga.
Denis sudah SMA. Cepat, ya?
Waktu menggilas tiap-tiap rolas
Rolas awan dan rolas wengi.
Pak lazarus dan Bu Lazarus
Ulang tahunmu merupa haru kami
Sebab jika kalian tambah tua
Kami dipaksa jadi tua juga.

Dimi dan despina
Lambat laun juga mengerti
Bahwa cinta tumbuh di
Gang-gang sepanjang jalan
Dan mereka siap segera
Diisap waktu, tambah besar

Lalu tiap cinta, kenangan masa kecil
Dan belanjaan-belanjaan Indogrosir
Mengiringi waktu-waktu
Yang terus jalan mondar mandir
Kesana kesini
Menghadiahi ulang tahun
Pada siapapun
Pada paradigma doa-doa terbaik

Apalah kami ini
Siapalah kami ini
Di waktu-waktu yang kupunya.
Cuma cinta dan sedikit kebanggaan lewat cara manapun
Menjadi manisan dan kue-kue
SELAMAT ULANG TAHUN


2012