Ora Pou Pote Den Tha
Girisei ( Waktu-Waktu Yang Tak Akan Kembali )
: Camellus Julio Christie Tamtama
"Se, mbok aku digawekke
tulisan. Opo wae, " katanya. Seorang sahabat tiba-tiba minta dibikinkan tulisan,
tulisan tentang apa saja. Saya bingung dan merasa aneh, kenapa tulisan? Kenapa
tiba-tiba? kenapa apa saja? Ah.. Kalau saya menulis tentang blewah, apel,
mangga, atau macam-macam buah- mungkin dia suka, mungkin tidak. Kalau saya
menulis tentang waktu yang geriknya cepat: saya kian tua, ia kian tua- mungkin
ia senyum-senyum, mungkin malah tersinggung.
Maka saya memang bertekad menulis
tentang apa saja: tentang seorang pemain basket yang bakatnya dipendam dalam di
antara tangis dan angka-angka. Sahabat ini memang pemain basket, saya tak
begitu tahu dari kapan dan kenapa ia menggemari basket. Memasukkan bola ke
dalam keranjang tinggi, berlari kesana kemari sementara matanya sulit untuk
melihat. Iya, matanya minus. Saya kurang update sekarang sudah minus berapa.
Saya ingat ketika ada
pertandingan antar SMA di Jogja, saya tak pernah alpa menonton tim SMA kami
bertanding. Ia menjadi satu dari banyak pemain yang menonjol dan diberi
perhatian, media cetak lokal kota kami sering mewawancaranya. Tentu saya tak
tahu apa yang ada di benaknya ketika ada banyak orang tak dikenal kemudian
tiba-tiba saja mengenalnya. Tiba-tiba saja menyapanya tanpa alasan- bisa juga
sebab wajahnya kerap mejeng di headline Koran. Entahlah. Saya juga tak tahu apa
rasanya disemangati oleh banyak orang ketika tim hampir tak punya tenaga lagi. Pendeknya,
ia punya segala pengalaman itu: pengalaman menjadi ngetop.
Saya bertemu dengannya juga
secara tiba-tiba. Kepada mereka yang percaya hidup bukan soal kebetulan, maka
abaikanlah kalimat barusan. Tiga tahun kami berada di kelas yang sama. Tentu
tiga tahun bukan waktu yang cukup untuk mengenal seluk beluk seseorang- bahkan
sepuluh tahunpun bukan jaminan. Seseorang takkan pernah habis dimengerti, sebab
pikiran berubah bisa dari mana saja. Tapi tahun-tahun itu cukup membuat saya
tak pernah lupa bagaimana bau kentutnya yang seperti telur rebus disimpan di
lemari es dua bulan lamanya. Saya juga tak bisa lupa pada kebiasaannya memesan
nasi goreng orak arik di kantin sekolah, lengkap dengan lumpia digunting jadi
beberapa. Tulisan ini- selain sebagai pelunasan permintaannya, juga sarana saya
untuk terus mengingat masa kecil kami. Lewat kenangan, bukan dalam foto-foto
yang saya tak sempat saya tangkap momennya.
Kini kami sudah jauh. Ia ada di
sana dan saya ada di sini. Sebaiknya di sini dan di sana tetap menjadi di sini
dan di sana. Sebab di mana-mana kita ini sama. Yang beda cuma jarak dan cara
kita memandang istilah-istilah baru dan pengalaman-pengalaman baru. Seperti
sudah saya bilang di awal tulisan ini: saya tak tahu apa ia akan suka dengan
tulisan tentang waktu. Tentang saya dan dirinya yang kian berumur. Saya akrab
dengan buku, ia akrab dengan buku. Saya akrab dengan etika dan hal-hal
theologis, ia akrab dengan angka-angka dan rumus yang nyaris tak pernah kami
sentuh di kelas Bahasa dulu. Tak ada yang hilang dari waktu-waktu yang terus
dititi, tapi ada hal baru yang terus muncul- dan yang lama kita singkiri pelan-pelan. Pelan-pelan tapi pasti. Pengalaman cuma soal waktu dan cara kita
menghayatinya, tentang bagaimana kita meresap dan menjalaninya. Kami beberapa
kali saling mengabari, kadang ia bilang soal banyaknya tekanan dan bahwa hidup
ini terjal sekali. Saya tak bisa
menjawab, saya bungkam. Biar nanti ia tahu sendiri saja, bahwa yang seperti itu
pasti hilang sendiri.
Saya tak pandai menulis, membuat
tulisan serba wah dan sesuai kaidah. Tapi tulisan sederhana ini semogalah bisa
menjadi bingkis-bingkis tersendiri bagi sahabat saya. Kelak bila kami sama-sama
ada di usia tua- ketika kami hanya pandai membaca koran tapi tak pandai membaca
zaman ( semoga masih ada Koran ), tulisan ini akan menertawakan kami. “Kalian
lucu ! hahaha…” Kira-kira begitu. Lalu kami menyeruputi teh pada gelas-gelas serba robot dan siap untuk hari panjang dan
tahun yang kian pendek.
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar