Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Minggu, 27 Januari 2013

Rumah Lama. Cilacap dan Nama-Nama

Rumah Lama. Cilacap dan Nama-Nama


Di Gunung Simping
aku belajar mencintai
lewat Bapak, Ibu, Denis
Bu Maskuri, Pak Basuki, Yu Tisem
dan debur ombak teluk penyu
yang menyapa tiap malam


Di TK Pius
aku belajar mencintai
lewat Bu Erna, suster Wina,
Monik, Sheila
dan lombok-lombok rawit di taman sekolah
yang kupetik sembarang
bila penghujan


Kota ini teramat lekat,
setiap hari aku merapal nama-nama tempat
Jalan Kalimantan, Jalan Jawa;
Pakdhe Wit, Budhe Rin
Mas Rambu, Mbak Tituk
mereka suka
bisik-bisik padaku
katanya ada genderuwo saban sore
di halaman depan


Parabola dan film India,
Tokoh bernama Raja,
seorang polisi, tarian-tarian,
ada gajah main film juga !
haha...


Di ketapang dengklok
kampung nelayan
yang sepi dari kota dan bau mendoan basah
ikan asin dan kapal-kapal asing di kejauhan
ah... lihat
: Nusakambangan !


Rita, Sari Manis, Tunggul Wulung
Bis Aman, Bis Utama
Pak Sakino, Bu Sakino, Salomo
Pak Herman: namanya kekal bersama Pakdhe Marto...


Tiap hari Cilacap bercahaya
tiap malam langit merah
kerna bakaran pertamina
Kilang-kilang, Budhe Atik, Pakdhe Oto
Lomanis, Mas Duto,
Mas Burhan dan Mbak Mita


Terakhir aku ke sana
aku bawa sekoper masa lalu
kutinggal nginap di Hotel Nusantara
seharian aku mrenung di Gardu Ronda,
pojokan Gunung Simping


Seperti lewat tiap nangis kita nemu Tuhan.
Selain rupa-rupa yang tenggelam,
aku tak mengenal sesiapa lagi di sini
haha !


2012



Rabu, 09 Januari 2013

Ora Pou Pote Den Tha Girisei ( Waktu-Waktu Yang Tak Akan Kembali )


Ora Pou Pote Den Tha Girisei ( Waktu-Waktu Yang Tak Akan Kembali )

: Camellus Julio Christie Tamtama


"Se, mbok aku digawekke tulisan. Opo wae, " katanya. Seorang sahabat tiba-tiba minta dibikinkan tulisan, tulisan tentang apa saja. Saya bingung dan merasa aneh, kenapa tulisan? Kenapa tiba-tiba? kenapa apa saja? Ah.. Kalau saya menulis tentang blewah, apel, mangga, atau macam-macam buah- mungkin dia suka, mungkin tidak. Kalau saya menulis tentang waktu yang geriknya cepat: saya kian tua, ia kian tua- mungkin ia senyum-senyum, mungkin malah tersinggung.


Maka saya memang bertekad menulis tentang apa saja: tentang seorang pemain basket yang bakatnya dipendam dalam di antara tangis dan angka-angka. Sahabat ini memang pemain basket, saya tak begitu tahu dari kapan dan kenapa ia menggemari basket. Memasukkan bola ke dalam keranjang tinggi, berlari kesana kemari sementara matanya sulit untuk melihat. Iya, matanya minus. Saya kurang update sekarang sudah minus berapa.


Saya ingat ketika ada pertandingan antar SMA di Jogja, saya tak pernah alpa menonton tim SMA kami bertanding. Ia menjadi satu dari banyak pemain yang menonjol dan diberi perhatian, media cetak lokal kota kami sering mewawancaranya. Tentu saya tak tahu apa yang ada di benaknya ketika ada banyak orang tak dikenal kemudian tiba-tiba saja mengenalnya. Tiba-tiba saja menyapanya tanpa alasan- bisa juga sebab wajahnya kerap mejeng di headline Koran. Entahlah. Saya juga tak tahu apa rasanya disemangati oleh banyak orang ketika tim hampir tak punya tenaga lagi. Pendeknya, ia punya segala pengalaman itu: pengalaman menjadi ngetop.


Saya bertemu dengannya juga secara tiba-tiba. Kepada mereka yang percaya hidup bukan soal kebetulan, maka abaikanlah kalimat barusan. Tiga tahun kami berada di kelas yang sama. Tentu tiga tahun bukan waktu yang cukup untuk mengenal seluk beluk seseorang- bahkan sepuluh tahunpun bukan jaminan. Seseorang takkan pernah habis dimengerti, sebab pikiran berubah bisa dari mana saja. Tapi tahun-tahun itu cukup membuat saya tak pernah lupa bagaimana bau kentutnya yang seperti telur rebus disimpan di lemari es dua bulan lamanya. Saya juga tak bisa lupa pada kebiasaannya memesan nasi goreng orak arik di kantin sekolah, lengkap dengan lumpia digunting jadi beberapa. Tulisan ini- selain sebagai pelunasan permintaannya, juga sarana saya untuk terus mengingat masa kecil kami. Lewat kenangan, bukan dalam foto-foto yang saya tak sempat saya tangkap momennya.


Kini kami sudah jauh. Ia ada di sana dan saya ada di sini. Sebaiknya di sini dan di sana tetap menjadi di sini dan di sana. Sebab di mana-mana kita ini sama. Yang beda cuma jarak dan cara kita memandang istilah-istilah baru dan pengalaman-pengalaman baru. Seperti sudah saya bilang di awal tulisan ini: saya tak tahu apa ia akan suka dengan tulisan tentang waktu. Tentang saya dan dirinya yang kian berumur. Saya akrab dengan buku, ia akrab dengan buku. Saya akrab dengan etika dan hal-hal theologis, ia akrab dengan angka-angka dan rumus yang nyaris tak pernah kami sentuh di kelas Bahasa dulu. Tak ada yang hilang dari waktu-waktu yang terus dititi, tapi ada hal baru yang terus muncul- dan yang lama kita singkiri pelan-pelan. Pelan-pelan tapi pasti. Pengalaman cuma soal waktu dan cara kita menghayatinya, tentang bagaimana kita meresap dan menjalaninya. Kami beberapa kali saling mengabari, kadang ia bilang soal banyaknya tekanan dan bahwa hidup ini terjal sekali.  Saya tak bisa menjawab, saya bungkam. Biar nanti ia tahu sendiri saja, bahwa yang seperti itu pasti hilang sendiri.


Saya tak pandai menulis, membuat tulisan serba wah dan sesuai kaidah. Tapi tulisan sederhana ini semogalah bisa menjadi bingkis-bingkis tersendiri bagi sahabat saya. Kelak bila kami sama-sama ada di usia tua- ketika kami hanya pandai membaca koran tapi tak pandai membaca zaman ( semoga masih ada Koran ), tulisan ini akan menertawakan kami. “Kalian lucu ! hahaha…” Kira-kira begitu. Lalu kami menyeruputi teh pada gelas-gelas  serba robot dan siap untuk hari panjang dan tahun yang kian pendek.


2013