Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Sabtu, 28 Desember 2013

Orbituari: Kang Maryono

Orbituari: Kang Maryono


Barangkali, inilah yang dinamakan keyakinan: mengubah gaya hidup dan mempercayai satu hal sebagai satu tongkat penuntun yang baru. Begitulah kira-kira sikap Maryono yang mengundang takzim bagiku pada hari ini. Maryono, seperti kebanyakan orang, merupakan pribadi yang gersang di mataku. Aku tak begitu kenal, kecuali dari sekelebat lakunya sepanjang delapan tahun terakhir di hidupnya. Namun bukankah simpati, apalagi pada kehilangan, boleh datang dari siapa saja? Aku masih kelas 2 SMP ketika Maryono memutuskan untuk bergereja di gereja kami yang mungil. Aku kecil baru saja mendapat motor Astrea Grand lungsuran dari kakak sepupu yang baru lulus sekolah menengah. Layaknya anak seumuran lain yang sedang gemar-gemarnya naik motor, aku kecil tak kurang ide untuk mengakali keterbatasan. Motor lungsuran itu langsung dimodif seadanya. Jangan bayangkan knalpot Yoshimura, velg racing, atau hal-hal mahal semacamnya. Aku kecil memutuskan membeli cat kayu seharga tiga ribu rupiah untuk melumuri banyak bagian motor dengan ornamen sesuka hati.

Maryono, seorang simpatisan gereja yang waktu itu sangat kerap berkunjung ke rumah, yang menawarkan bantuannya padaku utk menceperkan motor dan mencangkok slebor depan Astrea Grand dengan slebor Supra X, harapannya supaya motor jadul itu tak kelihatan ketinggalan zaman amat. Aku membeli slebor supra di Klitikan jalan Mangkubumi, yang kini sudah dipindah ke Kuncen, dengan harga lima puluh ribu rupiah. Waktu menunjuk kira-kira jam tujuh malam, Maryono mulai dengan gegas sekaligus ringkas membantuku melakukan make over motor dengan cara seadanya. “Untung ada Kang Maryono,” pikirku dalam hati. Tanpa ia, tentu niatku mengubah motor grand menjadi semi modern itu tak akan sampai.

Selain ingatan tentang itu, tak ada yang benar-benar personal. Ada jarak di antara kami, seperti aku mencipta jarak pada orang-orang banyak yang tak begitu kukenal. Ada kemungkinan lowong yang tak kami pelajari sebagai manusia yang bisa berteman dekat. Aku, meskipun blangsat dan urakan, selalu percaya bahwa lewat bergereja aku bisa menemu Tuhan. Di sanalah aku tak hanya menemu Tuhan, tapi bertemu Maryono juga, aku lazim memanggilnya “Kang Maryono.” Seorang sederhana yang sangat rajin ke gereja, hampir tak pernah melewatkan misa panjang di gereja kami yang mungil. Gereja kami di pusat kota Yogyakarta, sedangkan rumahnya di pelosok Magelang, tepatnya di Grabag. Tampak di mataku bahwa jarak adalah perkara hati baginya, bukan panjang ruang atau ukuran seberapa jauh. Aku banyak berhutang rasa padanya soal ini, sebab aku kerap menganggap jarak sebagai sesuatu yang sangat sakral, sesuatu yang paling penting untuk disiasati dalam hubungan antar manungsa.

Sekali ia menceritakan pengalaman spiritualnya, bahwa ia merasa damai tiap kali berdoa, dan inilah yang membuatnya sangat lekat dengan hal-hal gereja. Ia tak jarang membawa lima putrinya yang cantik semuanya ke gereja, meski dalam pelbagai keterbatasan. Mungkin inilah yang dinamakan orbituari. Kumpulan akan ingatan baik, tak ada keburukan dan seakan-akan dalam orbituari itu orang jadi paling sempurna dan lengkap. Bukankah benar, puzzle bisa dilihat jelas ketika sudah terangkai? Aku percaya bahwa simpati pada kesedihan boleh datang dari siapa saja. Termasuk aku, orang yang bukan siapa-siapa tapi merasa kehilangan. Begitu mendengar kabar berpulangnya Kang Maryono, aku langsung memutuskan menulis, menangkap apa-apa saja yang pernah ada dalam ingatanku yang seadanya. Untuk siapapun yang membaca, kuanggap kalian juga ikut mendoakannya. Sebab tulisan, betapapun jeleknya, adalah doa juga.

Terima kasih untuk bantuannya pada motorku yang lawas itu, kang. Kuantar kepergianmu dengan tulisan, sebagaimana orang Yunani berkata pada kematian dengan lugas sekaligus halus, “Eonia i Mnimi.” kekallah kenanganmu.

Sabtu, 21 Desember 2013

Hidup dan Politik yang Sengau

Hidup dan Politik yang Sengau
: Camellus Julio, Pradipta Eka

bila kita tak tahu soal politik
biarlah kita tahu soal diri kita masing-masing
bila kita tak tahu arah angin
biarlah kita tebak hujan mana yang sanggup meruntuhkan iman kita,
yang kecil, yang muram,
yang kikuk di depan satu kata ini: khianat

kelak diri kitalah yang tahu juga
bahwa waktu itu nisbi
hidup ini titik, dan titik itu ialah sekarang.
keniscayaan yang terperam di malam paling sunyi.
adapun hari lalu dan besok juga di titik itu
dan kita kawan untuk
perjalanan-perjalanan dalam ingatan yang cuma-cuma

pss sleman.
indonesia.
sepakbola.
lengking riak dalam suara kita
kemenangan di tangis kita.

sumpah serapah itu
juga cuma-cuma

Brookline,
122013

Satu Kali di Hidup Kita

Satu Kali di Hidup Kita
: Ragil Wibawanto

bukankah pikiran kita lebih
baik menguap?
sebab telah banyak
kesedihan dan pertentangan
di antara tembikar dan tukang periuk,
di antara tuah kayu salib yang kauyakini benar.
sebab juga kebencian sering tak tuntas disikat
tajam tatap para pacar di mata mereka yang
netes diam-diam

masa lalu itu, gil
adalah bincang di lorong
kelas kita yang panjang.

bukankah kenangan kita lebih baik menguap?
sebab cuma induk ayam yang memeram penyesalan selama dua puluh hari.
selebihnya diri kita yang sering kikuk pada jarak, jenjang kaki cinta-cinta baru

dan satu kali di hidup kita,
marah-marah itu benar ada.

Brookline,
122013

Senin, 09 Desember 2013

Jalan Godean Itu


Jalan Godean Itu

: Aria Duta


di sekitaran situ
macet pagi adalah wajar pupur
paras bocah-bocah sekolah,
mereka itu menyimpan mimpi semalam
untuk cerita di kelas matematika yang sumpek.
seperti motor bebek kita, adalah
sampan untuk cerita via, tia, di hidup kita yang kanak-kanak
bagaimana cinta itu gegar ombak, amuk angin, yang 
boleh datang dari arah mana saja
dan kita mesti menyerah pada
kebohongan. pada kecap orang ramai


cuma butuh lima menitan
untuk tahu ringroad sebelum pingit
untuk tahu kerinduan sebelum mantan kawin.
kelak itu akan jadi hal paling brengsek


di mirota kita tahu, dulu, tak ada lampu merah
menyeberang situ cuma perlu kematangan
menghormati khalayak- pejalan
yang menyita umur mereka
saban pagi 
di situ-situ saja


jalan godean, dut
adalah kenangan kita untuk
Yogya kuna
yang magis manis 
dan menyenangkan


Brookline 
122013

Selasa, 03 Desember 2013

Sajak Kangen ( Koyone Kangen Tenan )

Sajak Kangen ( Koyone Kangen Tenan )

kota ini berjarak seribu kilo dari matamu
tapi tak secenti pun pernah kautempuh aku
dari angan-anganmu
barang semalam

di sini ada pikiran yang koyak tentangmu, gedung-gedung tinggi, senyum orang mandi
dan bintang jatuh kunikmati sendiri di taman kosong

waktu mengayak kenangan orang baik
di tampah tua milik
ibu di kota lama

juga cinta, ia memberiku satu periuk nasi, tiga tahu susur, dan lima lombok rawit.

biarkan aku simpan kangen
dusta dan mimpi-mimpi di bawah bantal
biar kubawa dalam tidur
dan ciuman kepadamu di mimpi menjelang subuh

Brookline
0412013

Rabu, 27 November 2013

Ulang Tahun Hujan

Ulang Tahun Hujan


tunjukkan satu hal yang akan megajarkan aku untuk jadi lelaki yang tenang. maka tak salah kalau kau kemudian membawaku pada cemara di hujan rembes atap-atap kota. kau mencium aku dengan satu tangan tetap teguh memegang rok yang berusaha kusibak. "untuk sebuah ketenangan, kau perlu ciuman yang merangsek ke segenap mukamu. " bicaramu begitu lembut seperti peluh-peluh gerimis yang kuyup di sekujur mukaku yang selalu kesepian.
mula-mula aku selalu goyah, takut pada kecemasan yang dibawa mendung tiap kali ia datang mengetuk jendela kamar kayu milikku di kota jauh. "bila kau terus menangis untuk kita yang selalu gagal bercinta, ambillah ini seputik puting sebelah kiri, kaubisa bawa kemanapun kau hendak pergi. tapi tolong jangan kembali lagi pada sembab tangis di hari-hari besok. aku adalah hujan untuk kerelaanmu yang setengah-setengah. "
kau tak pernah salah, seperti setiap kepergian yang tiba-tiba. kau cuma air yang datang dari langit untuk petani yang setia, tukang kebun yang penuh doa, dan bukan untuk kekasih siapapun. dan bukan untuk kemarahan pada hal-hal remeh. hal-hal kecil seperti kangen yang berulang. bukan.

ibu kula nyuwun arta, ing njawi wonten kere
kere tua tuwin wuta, sambat ngelak lan luwe
enyoh iki wenehana
sega iwak lan banyu. lan kerene kandanana kon mrene saben dina

: selamat ulang tahun, ya?


11282013
Brookline


Jumat, 25 Oktober 2013

Bagaimana Aku Berjalan ke Matahari

Bagaimana Aku Berjalan ke Matahari


ada hal yang tak kauketahui
tentang kembang flamboyan
dan caraku menyanyi
di kamar
: berbagi kesepian
pada diri dan kilas wajah
di dalam cermin


ada hal yang tak kauketahui
bagaimana aku
berjalan ke matahari
: dengan mewajarkan
setiap cemburu
dan ciumanmu
di muara malam.
hulu hilir tangis
dan muka jati
di anak kali


ada hal yang tak kauketahui
caraku memejamkan bulan
: dengan gelap
dan bisu di ulu hati


ketahuilah,


2013

Selasa, 15 Oktober 2013

Ziarah

Ziarah


kesepian adalah ziarahmu
pada orang ramai
gerimis. seperti katamu
adalah tabuh tangis
yang mengiringinya


ziarahku pada cinta
adalah lima menit lalu
adalah tiga-lima tahun lalu
lima belas tahun
ke belakang
waktu rumah kami
begitu jauh di kota simbah


puisi adalah ziarah siapa saja
kembali pada syukur
cerah pagi
bata batu kena matahari
gegas tupai di dahan-dahan
pula embun. seperti katamu
: begitu meneduhkan


2013


Ilustrasi: Labdo Grahito

Jumat, 11 Oktober 2013

Kau Di Pengasingan

Kau Di Pengasingan
: nn


satu lagi pesawat cengkareng
pergi dari runway panjang
terbang ke air mata
satu menuju air mata lain.
frankfurt. kota jauh
kali tumbuh. di gereja-gereja tua.
di megah malam dan jerit tikus di atas gedung


" aku akan merajah tubuhku
dengan lukisan di matamu itu,
supaya aku tak kehilangan apapun. "


luther, hitler,
manusia bisa membawa tuhan
dalam suram cinta yang rupa-rupa


tapi tunggu.
bintang jatuh belum datang,
keinginanmu sudah terbenam,
dibawa kemarau panjang tahun kemarin


di sepi selokan, bau vodka, solar
dan muntah perempuan
pesta yang menyedihkan
di balik sabit diseling-seling kabut


atas nama apa.
santa ana. santa ana


tidurlah kau, di antara mendung


2013

Sabtu, 05 Oktober 2013

Surga Di Keto’an Kuku Ibu

Surga Di Keto’an Kuku Ibu


ibuku adalah ibu
yang tak pernah melarang
anak-anaknya makan indomie.
persis seperti semua
ibu di penampungan
gempa dan sebagainya.
tapi cuma padanya kami merasa aman



puisi hari ini biarlah
untuk hari ini.
ini hari ibuku meraup setahun lagi
dari umurnya yang panjang,
syukurlah !
berarti puisi hari ibuku biarlah
untuk ibuku.


ibuku, seperti kau tahu
adalah perempuan yang
bangun sebelum embun
dan tepat setelah kokok ayam,
ia tak pernah mendengar
tiga kali kokok ayam.
begitu setia pada zaman
pada bapakku dan anak-anak
empat bocah paling beruntung, yang lahir
dari kebahagiaan dan riap tangis
malam pekat.


ibuku adalah
untai doa yang tak putus
kata-kata yang
menghasilkan
kebahagiaan
bagi yang mendengar,
umpama puisi sederhana
siapa saja yang menulis
dari hati.


baiklah, ibuku.
ini adalah sajak
kecil bagi hari ini
bagi malam pendek
untuk hari panjang.


selamat !


2013


Ilustrasi: Labdo Grahito


Senin, 30 September 2013

Apik-Apikan Dari Kami atawa Penggemar Rahasia

Apikan-Apikan Dari Kami atawa Penggemar Rahasia


bapak, seperti kau tahu
perlu kauikuti setiap waktu
gerik-geriknya dari susah
ke susah lain
ceritanya dari jatuh
ke jatuh lain
tentu juga cintanya yang
pada tuhan itu, pada ibu kami itu.


bapakku, ia penangkap waktu
menangkap zaman seperti kupu-kupu
memberikannya pada kami
liwat cerita dan kisah-kisah lalu.
kisah soal kemiskinan, misalnya.
semua orang miskin, kau tahu.
tapi semua orang juga kaya.
kau boleh jadi kaya
sebab cerita dan pikiranmu tak habis
tujuh turunan


kau boleh jadi miskin,
miskin rindu, lengang, dan banyak uang.
tapi kebahagiaan, begitu bapakku bilang
adalah keluarga dan
cinta-cinta di sekitarnya


maka di tahun yang kian tambah
kuberi satu puisi lagi baginya
abjad-abjad hangat di kertas kering. kau tahu


puisi seorang nahkoda,
bagi gubuk kecil dan
lagu hujan di atap kamar.


puisi seorang nahkoda,
di doa khusyuk
yang tak pernah
sia-sia.


Selamat !


2013


Ilustrasi: Labdo Grahito

Alegori Hidup Untuk Seorang Mati

Alegori Hidup Untuk Seorang Mati


kemarin pagi ia tiada
meninggalkan rindu, kecap lamis, dan
tidak bunga-bunga.
ia tiada dengan
sendirinya
dibawa angin sepanjang
lagu tuan-tuan di cafe
dinyanyikan biduan-biduan
dengan rok
segembung sebelas ikat mawar kuning
di kota ibu, kota baru


ia adalah masa kemarin
yang sudah maghrib
sudah purna untuk hari
yang tak lagi
punya tempat untuk
terang siang
dan lawak keras di bawah
pohon hazelnut


ia dan budinya sudah mati,
kemarin pagi
bibirnya dibawa ke jakarta
dimakamkan di hatiku yang jeru


santa ana. santa ana.


2013

Ilustrasi: Labdo Grahito

Rabu, 25 September 2013

Gerimis atawa Patung Nama-Nama

Gerimis atawa Patung Nama-Nama


hujan jatuh di ujung jalan kembang. kau, kau, dan aku berdiri
di antara perasaan ngambang.
aku menumbuhkan hatiku di minaret-minaret tinggi,
menyerukan salam dan mendoakan nama-nama di tiap awan lewat.
santa ana. santa ana.
kau menangis di pojokan park street, meminta perhatian
pada tiap tapak kaki jalanan kosong, bekas ban bis-bis tadi
siang, dan segala erangan orang-orang malam.
darah. kau menuang darah dan meminum anggur, memecah roti
dan melahap daging-daging merah.
cinta. cinta menenggelamkanmu pada mata kunang-kunang
di seberang taman situ: santa ana. santa ana
puting susu kekasihku telah membatu.


2013


Ilustrasi: Labdo Grahito

Selasa, 24 September 2013

Bis Lajur Lima

Bis Lajur Lima


apa lebih berharga
selain kesetiaan?
kesetiaan pada masa silam
pada dingin-dingin ronda malam
pada muram durja wajahmu sore waktu
pada jam sebelas siang
pada bel istirahat kedua


bis lajur lima,
kopata nomer lima.
tak lagi kujumpa
di sekujur jalan


di depan kopertis sana
sama juga
kelas empat limaku hilang
dimamah air mata
dan asap-asap hitam.


2013


Ilustrasi: Labdo Grahito







Selasa, 17 September 2013

Jejak Tuhan Kemarin Itu

Jejak Tuhan Kemarin Itu


tiga tahun lalu membekas di jalanan haneda
ada bapak ibu dan tahun baru
belum ada sedih pandit buat biru
belum ada PSS sebesar ini
denis yang naturalis, dimi dan kecambah,
despina begitu manis


kawan-kawan di sudut jalan, pada tiap prapatan,
protelon, dan jalan-jalan layang
bumi, origen, dan kitab-kitab
agustin, apologetik, dan macam-macam
wulang, tugu, dan kepulangan


Santa Ana. Santa Ana.


atlanta, new jersey,
turkey dan makanan-makanan pesta.
shalem dan kutuk-kutuk tukang tenun.
hilanglah, dibakarlah.
kesedihan di sepanjang jamaica way


kutitipkan jejak-jejak kecemasan jelang malam
waktu brookline sepi dan beberapa pikiran
pergi merantau
seperti aku, di negeri sabrang


mantra Indian lalu suku-suku sekitar
di antara mereka tak ada
yang bisa singkap
: ruh kita simpan rahasia.
bulan bintang matahari
dan cibiran orang
mataku dan matamu di sebuah
petang marah-marah
di pagi kabut embun
dan ciuman pekat


Santa Ana. Santa Ana


Tuhanku hari ini.


2013


Ilustrasi: Labdo Grahito


Kamis, 29 Agustus 2013

Orang Gila dan Manekin yang Sumir


Orang Gila dan Manekin yang Sumir


“ Beberapa hal kupercaya akan membuatku lebih mencintaimu:
bunga krisan dan pohon perdu
yang merahasiakan wajahmu dan rindu-rindu sepanjang waktu “


Surat kecil itu terselip di sakuku, masih. Kekasihku memberi itu ketika kami baru saja putus dan ia marah besar. Di antara kami tak ada dendam yang terus atau rasa pahit yang panjang. Tapi seperti semua kisah kasih, ia pergi jauh setelah kami putus. Ia enggan menemuiku, aku juga kecewa dengan perpisahan. Seperti kekecewaanku pada semua ucapan selamat tinggal.


Sejauh kau mengayuh sepeda tua, sejauh itu kau akan menemukan rumah baruku. Rumah luas di sekitaran hutan, jauh dari apa saja yang hingar, termasuk kegelisahanmu yang luar biasa sengit. Aku tinggal di rumah yang jauh sekarang, sejak perpisahan kami, segalanya tampak jauh lebih biasa dari apapun sebelumnya.


Sejak malam itu, aku dan kekasihku tak pernah berkirim kabar. Kami dulu suka bertemu begitu saja. Aku suka memandang tahi lalat di dekat mata kakinya sebelah kiri, dan ia lebih suka menangis di depan mataku. Jauh sebelum beberapa hari sebelum perpisahan kami, ia mencoba mengucap janji-janji sederhana. “ Aku akan selalu mencintaimu, akan selalu begitu,” kau tahu, ia punya suara lebih halus dari batik sutra yang biasa dibeli ibu di pasar siang. Kain dingin sebagai selimut tidur menjelang kokok ayam.


Betapapun sudah lama kami tak bertemu, kekasihku tetap menggelisahkan. Ia mengecewakan, menyakitkan. Lebih menakutkan dari macan manapun yang akan kautemui di hutan. Aku terlanjur ingin melupakannya dan sebisa mungkin membuang wajah dan ceritanya jauh-jauh dari pembuangan sampah paling jauh yang mungkin kaujangkau. Mungkin di TPA Piyungan, TPA Bantar Gebang, atau mana saja yang aku tak akan pernah ke sana. Biar namanya tinggal bersama ton-tonan sampah yang kelewat biasa dibuang orang kaya dan disyukuri pengais-pengais berkat-para juara kompetisi bersyukur itu.


Tuhan tak pernah terlambat dalam memberi senter, dian kurung, obor, atau apapun yang menenerangi jalan panjangmu ke depan. Kau tahu, aku dan kekasihku mensyukuri bibir lebih dari apapun di dunia ini. Sebab lewat itu kami bisa mengarang cerita, berbohong, marah, menciumi apapun yang membuat kami geli, dan membual sehingga kami tambah akrab. Menjelang perpisahan kami, ia bisu. Ia memang tak banyak bicara, suka memandang bintang ketika orangtuanya sudah tidur, atau ketika orang-orang kampung selesai ronda malam.


Kami dipertemukan lagi pada siang yang panas, ketika para ibu melarang anak-anaknya minum es tapi mereka sendiri melanggarnya. Sudah tiga puluh tahun sejak perpisahan yang membuatku membencinya, sangat membencinya. Kau tahu, akan sulit memaafkan kekasihmu yang tiba-tiba pergi sedang ia sadar kau masih mencintainya. Tentu, aku masih mencintainya ketika kami berpisah. Ia sangat tahu hal ini.


Dan sejak perpisahan itu, sebenarnya aku tak langsung bisa melupakannya. Aku rajin pergi ke pameran buku, membeli macam-macam buku motivasi cinta dengan judul yang memberimu harapan untuk bangkit. Bangkit Dari Keterpurukan, Lekas Sembuh dari Luka Hati, Tujuh Cara Melawan Tanda-Tanda Patah Hati, dsb. Dari semua itu, aku paling suka” Cara berkomunikasi lewat Bathin.” Aku gemar berdoa, menyukai doa sejak kecil. Sebab lewat doa, aku percaya bahwa segala harapan dan caci maki banyak orang bisa sampai kepada siapa saja yang mendengarnya. Entah santo, santa, malaikat, dan segala hal yang gaib.


Sejak aku merasa diri paling berdosa, aku tak pernah menganggap doaku langsung sampai ke telinga Tuhan. Paling tidak atas ketaklayakanku mengharap sesuatu, pesan itu disimpan dulu oleh malaikat dan entah disampaikan pada Tuhan beberapa saat kemudian. Tapi itulah, buku komunikasi bathin ini mengingatkanku pada doa. Katanya, yang perlu kaulakukan adalah menyebut nama kekasihmu secara berulang,nanti getaran suaramu akan sampai juga pada orang yang kautuju. Ini hal yang penting, pikirku.

Aku memang suka praktek menyebut nama kekasihku dalam hati, sebelum akhirnya kami bertemu hari kemarin. Biasanya, penyebutan nama ini akan berefek langsung hari itu juga, malam itu juga. Tapi kemarin ini tak biasa. Kami bertemu di sebuah kedai susu di tengah kota kami. Kedai yang tak lekang dimakan zaman sejak masa kami pacaran. Di sana muda-mudi biasa beradu pikir. Wajahnya masih sama, lesung pipi dan bibirnya yang menyenangkan juga tetap tinggal. Aku ada di antara rasa-rasa semrawut, buncah, tak karuan. Setelah tiga puluh tahun aku cuma menghubunginya lewat bathin.


Kekasihku mirip angsa yang sedang angrem. Sendirian saja bersama kehamilannya yang tua. Aku memberanikan diri menyapanya. “ Kau tahu, wajahmu banyak berubah setelah tiga puluh tahun.” Aku basa-basi membuka percakapan sambil memandang matanya jauh ke dalam, seakan-akan tiga puluh tahun di antara kami hanyalah peristiwa barusan. Peristiwa barusan, di mana kami masih sama-sama mendidih untuk berebut siapa yang paling berhak menyebut dirinya lebih cinta. Tapi coba pikirkanlah, setahun berlalu begitu cepat. Melesat sangat singkat. Dari jam ke jam, malam ke malam, minggu ke minggu. Bukankah tiga puluh tahun hanyalah kemarin yang terjadi selama tiga puluh kali?


“ Kau masih saja tak sopan seperti dulu.” Ia membalas pembukaanku dengan suara lirihnya yang khas. Ia adalah perpaduan Sala-Yogya yang meledak-ledak sekaligus halus. Ingin diakui sekaligus tak ingin pamer. Aku mafhum, keluarganya memang berasal dari Klaten. Kami berbincang di meja kecil setelah obrolan kami tadi. Belakangan kutahu anaknya sudah tiga, dan ini adalah kehamilannya yang keempat. Suaminya seorang insinyur yang jarang pulang tapi gemar menabung benih di tubuh mantan kekasihku ini, lumayan brengsek, pikirku. Untuk menjadi suami yang baik, kau cuma perlu bekerja.Lagian, siapa mau diberi makan cinta?


Ia kubiarkan tak tahu soal hidupku. Di umur tua belum menikah sebab takut mencintai orang yang salah. Aku nyaris masuk vihara dan menjadi petapa. Supaya aku bisa lupa segala hal yang membuatku sedih dan menangis, tapi percuma. Kukira, aku tak perlu lagi terasing dan mengurung diri untuk melupakan sesuatu. Aku cuma sulit memaafkan diriku dan dirinya yang ketika itu tak buru-buru berusaha bertahan. Bertahan dari segala hal yang masih tinggal.


“ Apa kau masih merasa tiga puluh tahun lalu begitu dekat?” pertanyaan ini secara cepat keluar dari bibirnya yang masih lekat di kenanganku tiap waktu. “ Sejak undangan pernikahanmu dan foto-foto manis di dalamnya, aku ragu untuk menjawab: ya. “ Aku tak mudah melupakan hari yang mungkin adalah hari paling bahagia baginya itu. Aku seperti tersambar pohon cemara yang tinggi ketika undangan itu sampai di kolong pintu depan kontrakanku yang mungil. Aku adalah salah satu orang yang percaya bahwa manusia bisa berubah, termasuk caranya memandang kebahagiaan.


“ Kau sendiri yang bilang kalau manusia berubah, ia dinamis,” mantan kekasihku terus menodongku dengan ucapan-ucapanku di malam perpisahan kami.
“ Kau tahu, ketika kaki kita menginjak bibir pantai, ombak itu seakan-akan menyeret kita. Menipu kita seakan-akan kita bergerak. Seakan-akan kita ada di atas kapal yang akan membawa kita berlabuh di sebuah pulau kecil yang mengharukan untuk kita tinggal. Pada kenyataannya kaki kita tetap menginjak pasir pantai dan ombak itu terus bergantian menyapu-nyapu tungkai kaki kita yang tertipu. Kau tentu tahu.” Aku membalas interogasinya yang semena-mena dengan sekenanya. Menurutku kita bisa berubah, tapi mentok di situ-situ saja. Bukan omong kosong. Aku telah pergi mencari perempuan dari yang tak cukup cantik sampai yang bisa membuatmu kejang, dari perempuan biasa hingga yang membuatmu mesti membayar. Dari segalanya itu, aku tak bisa melupakan satu nama. Satu nama itu terus menetap di hatiku, nyaris seperti benalu. Menghabiskan waktuku sebagai penulis untuk menuliskan detil-detil di waktu silam, mengantarkanku pada sembab sembilu yang jarang pergi, dan kesedihan yang susah padam.


Tentu kau akan merasa bahwa tulisan ini kubumbui dengan metafor tak penting, atau retorika yang kira-kira membawamu pada kesedihan juga. Kau salah, ini serius sekali. Kekasihku adalah perempuan pertama yang membuatku menerima takdirku sebagai pria tanpa istri. Tanpa pendamping yang mungkin bisa menemanimu baca koran, makan siang, atau sekedar minum kopi sambil menunggu waktu maghrib.


Ia memesan kopi aceh yang pekat dan meriah. Ia menyeduhnya pelan dengan kosong, seperti ingin keluar menentang mataku yang daritadi tak bisa pindah. Aku memang terus melihat wajahnya. Berharap aku bisa membaca berita-berita terbaru lewat wajahnya. Apakah ia sedang bahagia, sedang sedih, anaknya yang pertama sekolah di mana, bagaimana suaminya, baikkah ia, dan pertanyaan-pertanyaan lain. Kau tahu, cinta itu tak datang begitu tiba-tiba. Kecuali kau menemukannya lagi, kau berhutang pada kenangan. Lagipula, waktu merupakan sekumpulan peristiwa yang lewat cepat dan menenggelamkanmu pada kecemasan yang sesat. Tapi aku bukan tipe orang yang akan menuntut cinta sepanjang malam. Aku bukan anjing yang setia kembali meski tuannya gila. Aku telah berulang mengatakan perasaan-perasaan ganjil ini, tapi ia tak bergeming. Menurutku, ia sudah buta pada segala cinta di antara kami.


Semoga akhirnya kaubisa membayangkan, seberapa sulit beranjak dari mata kekasihku. Sepasang mata yang gelisah menahan sesuatu. Kupandang terus hari itu. Sampai matanya tertutup rapat, begitu primpen, begitu gelap. Dalam sejam ia jadi patung yang terbentuk secara sumir. Di warung susu ia jadi manekin paling cantik untuk iklan susu hamil. Dan diriku, seperti banyak orang tahu, masih jadi orang gila yang menghabiskan sisa hidupnya untuk kesia-siaan yang tak banyak orang tahu. Aku tak tahu lagi berapa umurku, apalagi cara mengukur satuan waktu. Seperti anjing di sampingku ini, setia, gila.


Jogja, 29 Agustus 2013


Ilustrasi: Labdo Grahito

Selasa, 16 Juli 2013

Tentang Santa Caecilia

Tentang Santa Caecilia


Sebelum hari ini aku tak
Pernah tahu kisah di balik namamu
Nama yang rapih, pipih, manis, tapi
Masih sempat tersenyum getir


Santa Caecilia adalah kaki-kaki Gunung Slamet
Meniup bunga-bunga matahari sampai
Jauh ke dalam hutan
Bersembunyi seperti anak kecil
Di semak-semak pohon perdu
Memejal rindu dan menyimpannya
Lamat-lamat, diam-diam teramat
Di saku celana kiri


Akulah anak kecil itu, Santa Caecilia.
Yang menghindar dari namamu
Mencari Tuhan di semak berduri
Dan byuh…
Meniup doa dalam sekali kedip mata
Membawakannya di lilin-lilin kamar
Lalu menyita waktumu
Dalam angan-angan. Amin



2013

Minggu, 07 Juli 2013

Sajak Kecil Untuk Lowell

Sajak Kecil Untuk Lowell


Lowell begitu merdu menjelang maghrib
aku berlutut di adzan kecil. Di balik jendela
meletakkan rinduku di tanaman Lombok
merantasinya dengan sambal yang mengingatkanku
pada rumah dan bau tangan ibu


Lowell, seperti kota kecil lainnya..
ingatan berlarian di mana-mana
mencumbu risau hati pada senja
yang kudus dan meletup-letup


Perantau tak pernah berhutang
pada tempat mereka tinggal
tapi tiada pernah habis
membayar bahagia, sedih
dan perjalanan mahal
dari pohon kersen ke cemara hujan


Di antara perjalanan itu ada tangis, getir
kangen,  pasrah, penerimaan
dan banyak kecemasan yang
tak rampung dipintal
tapi berhasil dikemas sederhana dalam
cerita-cerita di meja makan


Langit Lowell ialah langit
yang memaksamu
tumbuh



2013


Foto: Dokumen Pribadi 

Jumat, 28 Juni 2013

Puisi Buat Kekasih ( Atawa hujan Kalimat )

Puisi Buat Kekasih ( Atawa hujan Kalimat )


Kekasih,
satu katapun aku sulit nemu
pensil inilah yang menuntunku
memulai kata demi kata, demi kata, demi kata
mulai dari huruf pertama sampai pungkas
bicara soal hal demi hal, demi hal, demi hal
soal sepakbola negeri yang meriang menahun, misalnya
atau soal dirimu yang suka datang tiba-tiba itu, misalnya
kubayangkan bakalan larut dan panjang
tulisan ini di bait-bait ke depan
lengkap persis
kisah kita yang
cepat melesat
sembunyi pada senyap
lampu-lampu kota tua,
tapi tetap tinggal


___


1.

Kekasih,
bila kita merindukan matahari
datanglah kita pada sebuah
pulau tanpa nama
seperti yang dikata Klaus Meine.
mendendang musik
yang tak luput pada masa-masa
seperti hidup kita ini
di dunia tanpa waktu


Seperti di pikuk hiruk
kesesakan macam-macam,
dirimu itu cuma perlu
menyalakan mata
membatin pikiranmu ada
di langit-langit kamar paling nyata
meracau nyanyi-nyanyi sunyi
yang bisu tapi paling merdu
Masih,
kau boleh membayangkan
derit-derit kursi panjang
dan nafas pendek-pendek


2.

Mungkin sekarang
kau sedang termenung
glundang-glundung
di kamarmu yang
sedang hujan itu


Mendengarkan gludug
paling syahdu
seperti lukisan-lukisan Dali
atau foto-foto ibumu di tahun-tahun lama


Atau mungkin sekarang
kau sedang cekak-cekikik
memekik-mekik tawa
dan menyimpan suaranya begitu rahasia
dalam dekik yang manis
persis sore dan kupu-kupu di Lempuyangan
sambil memandang layar
telepon genggam
melempar dan menahan
rindu-rindu pada kekasih baru


atau mungkin kau sedang murung
dirundung gelisah
bagai penantian pada pak pos
yang tak pernah datang
mengantar harum hujan dalam
sepucuk surat yang basah
oleh setetes
lelah, keringat, dan harap


atau tiap reka-reka peristiwa
mungkin kau tak mengalaminya
sebab aku hanya meracau
pada kertas yang tak pernah
mengeluh
meski kuumpat asu,
atau macam-macam umpatan lain khas
kota kita yang tak pernah
berhenti menjadi rumah tersyahdu
bagi sepasang kekasih
paling khalis


3.

Bila kita susur Malioboro,
kau menyukainya
kau suka hanya lewat saja
melihat pemandangan sini –sana
sambil membuang perasaan klise
menggenggam tanganku sekaligus
membenciku
ingin memukulku dengan
bibirmu yang merah jambu itu


Kau meniti di antara
suka tak suka
masygul dengan cinta paling kosong,
paling alpa


Sekarang sudah berapa lama?
tak lagi kaujumpa aku
dalam bunga tidur paling sakti


Wajahmu, kuberitahu
suka menyaru pada lagu-lagu
yang tak pernah kudengar kerap sebelumnya
di derap-derap syair bluegrass
yang mantap satu siang.
Mengantarku pada
dansa-dansa lembut di bayanganku
yang entah mana


Tidak setiap lagu bisa kita sayang
tapi beberapa suka mengajak kita
tamasya pada saat-saat dulu.
Ingatan soal masa kecil, misalnya
suka muncul dari lagu-lagu
Arswendo yang sederhana bukan main itu


Aku betah lama-lama
duduk di samping kandang ayam bapak
ada lincak dan pohon nangka rindang
kerap kujumpa rangrang
angkut makanan
dari mana ke mana
menyapa kawannya pada tiap perjumpaan
sesekali menggigit kulitku yang sering
tiduran di bawah situ
menikmati rehat siang
paling subtil sepanjang hari


Yang terbaik dari hujan
ialah ritus santap honkue
sereda hujan
ibu dan honkue
akan menjelma pelangi
paling warna-warni dan suci
membagi gembira bagi kami-kami.
lupa kita pada takut-takut sepanjang hari
pada rundung sepi mendung
dan gertak sambal petir-petir
yang memaksamu tiarap waktu hujan


Ketika baru bisa jalan
paling menyenangkan membeli bumbu dapur
ibu senantiasa mengirimku
pada garam, jahe, pete rese, brambang bawang
dan rasanya, dengan demikian
ia hendak membuatku lebih pasrah
menyerah bahwa masa kecil
tak bisa diremidi dan
begitu asyik, tentu saja


4.

Kekasih,
lihatlah seekor semut yang rambat
di pohon chestnut itu                                  
ia berjalan dengan langkah pendek
dan rasa kangen yang panjang
kepalanya tegak, tak tunduk,
pantang surut pada
tujuan yang ia, keluarga,
kerabat jauh, dekat, siapapun
tak pernah benar-benar pirsa


Bila sehari saja kita bisa
menjelma apapun
jadilah rangrang kita
di kota-kota suburb yang tak hingar
kita mandi di genangan
selepas gerimis
yang meniadakan
debu-debu di jendela kamar
pelajar-pelajar malas


Cinta tak pernah tumbuh
begitu tiba-tiba
mesti ada rencana,
kesempatan,
waktu tepat,
tapi tak pernah kita acuh
kita cuma berjalan di jalanan Jakarta
waktu Ramadhan tiba
sehingga buta kita
bahwa macet jalan dan hawa panas
begitu ranggas sepanjang hari
: cuma maghrib,
yang membawa cinta begitu akrab.


5.

Sekali waktu kau bicara
soal-soal masakan musim hujan
aku tak suka hujan
tak suka.


Hujan begitu mirip dirimu
suka membawa rasa sedih ke mana-mana
membisik waktu itu lewat kuping, lewat nyanyi, 
lewat kwatrin, lewat doa-doa, lewat segalanya
mengendapkan mata-mata kucing, mata-mata kalong, mata-mata iwak, mata-mata haru,
dan binar-binar matamu


Sekali kawanku menceriterakan soal tav me hamje me miss
di Tirana, seorang tamu akan dijamu dengan
masakan ini.
Dengan terong dan kentang tumbuk lembut, dicampur
rempah-rempah khas Balkan.
seperti tamu: asing dan ragu-ragu
aku ingin juga menjamu
dirimu pada satu waktu
dengan dingin hujan dan tatapan beku


Sekali kawanku menceriterakan tentang tarator
yaitu yoghurt cair dan potongan mentimun
ada sedikit bawang dipotong kecil-kecil
tapi hei ! bukankah bawang itu akan sempurna
untuk ciuman kita?
ciuman kepada waktu-waktu lewat
mengusir hujan dan membentuk
perigi di bibirmu yang telanjang
menyuguh kecemasan
pada fulan yang lambat datang


Dari Tirana ke Kosovo
jangan pergi jauh sampai Sarajevo
sebab perang dan kebencian
tak menyelesaikan apapun


6.

“ Dalam cinta,
tak ada kepastian yang ma’rifat
aku cuma menggumam Eliade
membawanya dalam pikir-pikir,
menanyamu dalam bayang
di selembar mapel dan sore-sore kabut
barangkali kau sepakat,
mungkin malah tak setuju
sebab dalam jarak
kau biasa mengambang
menggantung pertanyaan
di jemuran-jemuran baju
atau di paku-paku dinding kamar
berpaling dari mataku
yang mengendap di hatimu
dan menyembul di puting susu
meremasi kenangan dan jalan-jalan
sepanjang Jogja- Sala malam itu


Bila dingin rasuk pada
tubuhmu yang kuyup
sekali lagi,
tantanglah hujan
dengan tangan paling kepal
supaya lekas kau sadar
bahwa kaumesti berlari jauh ke padang Sahara, gurun Gobi,
Karakum, Mojave, dan Sonorah
untuk menampik rindu
dan mencicip tangismu
yang rambat dan ragu-ragu


7.

Kekasih,
di antara roman-roman yang murah tadi-tadi
cobalah kuberitahu kisah mahal
dari sepakbola miskin di negeri kaya
tapi menyedihkan bagai Bambang Ekalaya


Dari sini, barangkali
kau akan terus menjaga harapan
menjaga ingatan
dan seperti cerita orang ngepet
melindungi kenangan dari angin dan lilin padam


Pemain-pemain Medan turun ke jalan-jalan
tangis mereka merekam busa-busa, kata-kata, pekik pecah
sejarah masa lalu, kenangan manis, dan kebesaran rap-rap
lain lagi pemain-pemain Persis,
mereka hampir terusir dari tempat nginap
di sana pula, sayang, Mendieta terus dikenang
sebagai potret kelam pesakitan negeri ini
Sylla Bamba? Beberapa waktu lalu juga mengemis, miris
tapi jangan sekali hibur aku soal Tri Handoko !


“ Hey Anang Hadi, Anang Anang Hadi,
Hey Anang Hadi, Anang Anang Hadi,
Hey Anang Hadi, Anang Anang Hadi,
Anang Hadi, Anang Hadi ! “


Kau tentu ingat seberapa kuat M. Arif
seberapa hebat Andre Yoga
seberapa menyenangkan Bayu Cahyo
seberapa takar tawa Daniel Roekito pada
gol penalti Denilson,
dan ceria Denilson untuk Hector.
Pertandingan menjadi puisi,
Didik Tri Yulianto jadi syair yang getir.
doa-doa Sleman fans jadi megatruh
bagi Deltras dan dua gol yang sia-sia


Ketika kita terus berjuang,
penantian kita akan dilengkapi
dengan kidung-kidung haru
dari madah-madah rindu
para pejuang di tribun-tribun itu
dan doa tak pernah sia-sia.
Tak pernah..


___


Matahari mulai tergenang sore ini
tapi mata hati masih jelas
memancing di mata rindu
paling seru menjelang jam tujuh


Pensilku sudah diganti bolpen
dan ceritaku mulai usang
seperti rindu yang ditulis berulang
kukecup kertas ini seperti
pada keningmu kusemat sajak ini:
“The Less You Expect Thing to Bloom,
The More Likely It’s to be Sprung”



Holy Hill,

06282013