Aku dan Kamar

Aku dan Kamar

Sabtu, 29 September 2012

Gerimis dan Pop


Gerimis dan Pop


Hari Jumat. Dari aku bangun tidur tadi, kubuka gorden kamar yang putaran itu. Kuputar kiri kanan. Aku bisa lihat di luar sedang hujan. Di kotaku, Boston, hujan selalu datang seperti ini. Serupa busa-busa kecil yang turun pelan. Ini tidak sungguh-sungguh hujan, bathinku. Ini adalah gerimis yang datang tiba-tiba, seperti dulu ia biasa datang padaku.

Hujan gerimis rimbis imbas imbis. Ia menuntunku seperti aku menuntun bapak tua di Harvard street, dan berbisik: "Tidur lagi, nak. “
Hari akan jadi panjang, pikirku. Hari ini praktis tidak kulakukan apapun yang berarti selain kuliah sejam. Oiya lupa, aku punya kerja yang tak mungkin kutinggal jam dua belas nanti. Kutolak tidur lagi. "Emoh !"

Langit mendung dan suara gerimis itu persis wajahmu yang sedang murung, wajahmu yang menahan air mata entah kerna apa. Hoaaahm. Kau-kau-kau-kau. Lagi-lagi lagi. Tak terasa sudah lebih dari setengah jam dari aku bangun. Aku meracau di dalam tulisan-tulisan, yang sedang kuceritakan ini. Ya, ini.

Pikiran sekelebat tentangmu tadi dengan gaib memecah fokusku untuk mengingat sisa-sisa mimpi semalam.

Apa ya tadi mimpiku? APA YA?! AAAH !...
Aku rebahan lagi, lihat atas, rebah kiri kanan. Sepertinya semalam aku mimpi... Apa, ya??

Kuputuskan untuk menyudahi mengingat-ingat mimpi. Mimpi itu kejam. Ia datang bawa pesan yang sulit diterjemahkan. Pesanmu, wajahmu, gerak-gerikmu. Isyarat-isyarat darimu lebih jelas.
Tentu aku ingat waktu kau menatapku di bioskop, yang remang dan hingar. " Sayang.." Katamu. Setelah kata sayang, sudah pasti ciuman yang sangar-sangar. Isyaratnya jelas. Atau ini, waktu kaubilang takkan macam-macam. "Aku tidak bisa mencintai orang lain, yang.. "
Dari kata-katamu, isyaratnya jelas. Tak bisa mencintai orang lain jelas artinya bisa mencintai orang lain. Haha

Aaaaaah.. Pikiran ini terlampau cepat. Tulisanku sampai tak sanggup mengikuti. Sialan.

Di parangtritis, di pantai-pantai selatan Jogja. Wajahmu selalu jadi pasir yang ditulis-tulis, atau ikan yang lamis amis. Haha
Sebab sungguh, tiap-tiap aku kesana selalu saja kehilangan layangan yang senantiasa kumainkan sampai senja datang, turun, dan mendengung.

Sudah berkali-kali kukatakan bahwa kehilangan itu wajar. KEHILANGAN ITU WAJAR ! Sampai detik ini, aku tetap gagal paham kenapa gerimis jarang datang di kota ini, tulisanku jadi kurang ngepop. It does make sense. Sekarang tulisanku ngepop.

Pop-pop-pop. Budaya ini menjamur di mana-mana, sayang. Termasuk di nadiku, di darahku yang mengalir di urat-urat kecil. " Semua yang pop tidak jelek-jelek kok. " Tentu Bu Guru, aku ingat kata-katamu itu.

Racauanku makin tak jelas pagi ini, tulisanku makin kabur dibawa pikiran yang pergi lari-lari kejauhan. Dari bicara gerimis, mimpi, kamu, kamu lagi. Manusia selalu gitu, ya.

Sampai kalimat ini, hujan sudah berhenti turun. Gerimis tinggal sisa harumnya saja. Berapa orang di dunia ini suka bau hujan? Banyak ! Hampir setiap orang yang kutemui. Sebab sungguh, ketika mereka mendekam sendiri di tanah kuburan. Selain bunga-bunga kamboja dan doa-doa yang jarang, sahabat mereka hanyalah air hujan.

Wasalam, Sayang.

Brookline
280912


Ilustrasi oleh: Dionysius Labdo Grahito Hatmaji